Senin, 28 September 2015

Soal Rokok, Anda Tahu Sendiri kan Bagaimana Orang Indonesia itu....

Cerita Haji (2): Soal Rokok, Anda Tahu Sendiri kan Bagaimana Orang Indonesia itu....
Ilustrasi | Foto: Ajie Nugroho - Kompasianer Hobi Jepret
 Begitulah komentar petugas hotel dan general manager hotel yang menjadi tempat pemondokan kloter saya bersama 6 kloter lainnya dari Indonesia selama 30 hari di Mekkah. Dalam 12 hari pertama, dua kali saya mengajukan komplain terkait jamaah haji yang merokok di semua tempat, terutama di segala penjuru lobi yang jelas-jelas ber-AC.
Ya, saya punya asma. Bila dikepung asap rokok dari depan belakang kanan kiri, biasanya tak lama kemudian akan diikuti dengan pening kepala atau migrain. Bila kondisi tidak fit, apalagi bila sedang batuk pilek atau sedang mengalami tekanan batin, asma mudah sekali kumat. Saya selalu siaga obat semprot karena minum obat biasanya sudah tidak mempan. Dan bila di tempat AC mengepul asap rokok, apalagi bila bahasa tubuh si pengebul asap rokok tersebut tidak memiliki rasa sungkan atau rasa bersalah, apalagi bila dari pakaiannya tampak ‘berpendidikan’, rasanya ‘tanduk’ di kepala saya langsung muncul...
Saya punya kepentingan untuk berkomunikasi dengan mahasiswa dan menulis artikel maupun paper sehingga setiap hari meluangkan waktu untuk turun ke lobi guna mengakses wifi di sela-sela agenda umroh dan haji. Seringkali saya berpindah-pindah sofa lantaran asap mengepul di sekitar saya yang sudah taraf mengganggu. Ketika sudah tidak bisa menahan diri, saya mendatangi resepsionis di lobi.
Komplain pertama mungkin terjadi sekitar 8 hari pertama di pemondokan. Hanya staf hotel berbaju rompi yang ada di tempat. Petugas yang bahasa Inggrisnya pas-pasan seperti saya itu semula tidak memahami keluhan saya. Saya yang tidak bisa berbahasa Arab, hanya bisa menggunakan bahasa Inggris sederhana untuk menyampaikan keluhan. Setelah menggunakan tambahan ‘bahasa Tarzan’, barulah ia paham.
“Anda kan bisa berbahasa Indonesia. Anda bisa langsung menegurnya. Kami ini susah menghadapi jamaah Indonesia. Anda tahu sendiri kan bagaimana orang Indonesia itu....”. Begitulah kira-kira bila diterjemahkan komentar staf hotel dalam bahasa Inggris kepada saya dengan telapak tangan yang dibuka seraya menunjukkan mimik wajah yang menandakan bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa dengan keluhan saya.
Selang dua hari kemudian, saya terpancing untuk mengajukan komplain lagi meski saya tahu staf hotel mungkin tidak bisa berbuat apa-apa atas keluhan saya. Tapi siapa tahu stafnya kali ini berbeda dan bisa membantu atau sedikitnya meredam kekesalan saya.
Hufhhhh... Dua petugas di meja resepsionis kali itu adalah pemuda Arab dan sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris. Saya komplain dengan bahasa Inggris, mereka menjawab dalam bahasa Arab yang bila diterjemahkan adalah mereka tidak paham dengan apa yang saya sampaikan. Capek deeeeh...
“Ada apa? Apa yang bisa saya bantu?” tanya seseorang bapak setengah baya berwajah Arab dengan bahasa Inggris fasih. Ia berdiri sekitar setengah meter dari saya di meja resepsionis. Pakaiannya hanya berkaos kerah. Sepertinya beliau petinggi hotel yang menjadi tempat pemondokan saya karena ia berminat dengan keluhan saya. Saya kemudian menceritakan tentang jamaah haji yang merokok di tempat ber-AC dan mereka melakukannya di mana-mana, termasuk di lobi. Saya merasa terganggu dengan asap rokok hingga berulang kali pindah sofa. Saya juga mempertanyakan mengapa pihak hotel tidak memberi peringatan kepada jamaah haji yang merokok di tempat ber-AC atau paling tidak memberi batas wilayah mana yang menjadi area bebas rokok sehingga saya bisa menegur mereka yang merokok di area tersebut.
Si bapak yang badannya tinggi besar itu merespon positif keluhan saya dan menyebut ‘good idea’ untuk menempelkan peringatan area ‘No Smoking’ di beberapa wilayah lobi sebagai area bebas asap rokok. Beliau menjanjikan akan memasang peringatan tersebut. Setelah bercakap-cakap dengan bahasa Inggris, di akhir percakapan ia berkata: Anda tahu sendiri kan orang Indonesia itu bagaimana.... Mereka merokok di mana-mana. Tidak bisa diberitahu. Bila diberi tahu, mereka malah marah-marah....
Upsss, kaget sekali saya mendengar kalimat-kalimat terakhir sang bapak. Si bapak mengucapkannya dengan bahasa Indonesia yang fasih... Kalau tahu bisa bahasa Indonesia, sejak dari tadi saya pasti menggunakan bahasa Indonesia...
Ya sudahlah, saya pun pamit dengan geregetan campur miris di hati mengingat komentar si bapak yang akhirnya saya ketahui adalah general manager hotel pemondokan saya itu. Ya, geregetan dan miris karena saya terpaksa setuju dengan pendapatnya...
Sudah salah, tidak sungkan, kerap arogan, bahkan ada yang marah-marah!!! Dan..... kebanyakan yang begitu justru mereka yang dari pakaian atau pekerjaannya menunjukkan bahwa ia berpendidikan tinggi...!!!
Mekkah, 13 Dzulhijjah 1436H
Dr. Khairunnisa Musari, ST., M.MT.
(Pemerhati SIT Lumajang)

Minggu, 27 September 2015

GALERI FOTO: IDZUL QURBAN 1436 H

Sabtu, 26 September 2015M/13 Dzulhijjah 1436 H

Penyembelihan Hewan Qurban Oleh Ustadz Sholehuddin

Proses Pengulitan Hewan Qurban

Berlatih Menyembelih Hewan Qurban

Proses Penjagalan

Proses Penjagalan Oleh Siswa-Siswi dan Asatidzah

Pembagian Daging Qurban Kepada Warga Sekitar

Pembagian Daging Qurban Kepada Warga Sekitar

Pembagian Daging Qurban Kepada Warga Sekitar

Pembagian Daging Qurban Kepada Warga Sekitar

Pembagian Daging Qurban Kepada Warga Sekitar

Pembagian Daging Qurban Kepada Warga Sekitar

Pembagian Daging Qurban Kepada Warga Sekitar

Pembagian Daging Qurban Kepada Warga Sekitar


Menikmati Hidangan Daging Qurban

Menikmati Sate dan Gulai Kambing Qurban

Dapur NUris Untuk Ummat

Mensyukuri Hidangan Daging Qurban

Senin, 21 September 2015

Tentang Puasa Arafah dan Dilarang Memotong Kuku Rambut Bagi yang Ingin Berqurban ?


Assalamualaikum ada dua pertanyaan yg mau ana tanyakan 
1.Untuk puasa sunnah Arafah mulai tgl dan hari apa krn ada yg hari Rabu dan Kamis dalam mleaksanakan Sholat Idul Adha...
2.Apakah ada hadist dan ayat yg menjelaskan tentang perkara bahwasanya selama sebelum melaksanakan puasa sunnah Arafah tidak diperkenankan memotong kuku dan rambut apapun..mohon di jelaskan ustad Wasslamualaikum..Syukron

Jawab: 
Alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh
Ibu yang di rahmati Allah
Keutamaan puasa arofah
Dari Abu Qotadah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Puasa arafah (9 dzul hijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. puasa asyuro (10 muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu (HR. Muslim no. 1162).


Imam Nawawi dalam Al Majmu (6:428) berkata, "Adapun hukum puasa arofah menurut imam Syafii dan ulama Syafi'iyah adalah sunnah dan ini disunnahkan puasa arafah bagi ang tidak berwukuf di arafah
Adapun orang yang berhaji tidak disunnahkan untuk melaksanakan puasa Arafah.
Mengenai pengampunan dosa dari puasa arafah, para ulama berselisih pendapat. 

1. ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah dosa kecil. 
2.Imam Nawawi ra. mengatakan, "jika bukan dosa kecil yang diampuni, moga dosa besar yang diperingan. Jika tidak, moga ditnggkan derajat, "(Syarah shahih muslim, 8:51).
3. Sedangkan jika amelihat dari penjelasan ibnu taimiyah rahimahullah, bukan hanya dosa kecil yang diampuni, dosa besar bisa terampuni karena hadits diatas sifatnya mum. (lihat majmu, al fatwa 7:498-500).


Jika ada perbedaan tentang penentuan tanggalnya silahkan ikut yang diyakini, kami pribadi lebih memilih ikut keputusan pemerntah karena lebih dekat pada jumhur. 
Tentang larangan potong kuku, rambut bagi yang akan berqurban, itu berlaku bagi yang ingin berqurban, bagi yang tidak berqurban ya tidak perlu.
Wallahu A'lam Bisshowab

Ibadah Haji, Perjalanan Mencari Kesejatian Manusia


Allah memang Maha Penyayang. Allah memang Maha Pemberi Rahmat. Mereka yang diberi kesempatan melaksanakan ibadah haji tidak hanya dari kalangan yang mapan ekonomi, berpendidikan tinggi atau yang memiliki pengetahuan Islam luas atau yang memiliki tingkat keimanan yang kuat. Mereka yang dipanggil olehNya ke Baitullah dari semua kalangan, yang juga bisa hanya lulusan SD, petani, yang tidak bisa mengaji sama sekali atau yang perilaku sosialnya mungkin kurang beradab. Allah pasti punya maksud...
Salah satu jamaah haji dalam rombongan saya mengaku bahwa ia dapat berangkat haji karena pertolongan Nabi Khidir. Berkat amalan-amalan yang dilakukannya, Nabi Khidir kemudian memberikannya tasbih. Namun, ketika hendak berangkat, tasbih itu hilang. Mengguyoni si bapak yang berprofesi petani dan sepertinya menyambi jadi ‘orang pintar’ karena pengakuannya sering dikunjungi orang yang minta untuk kaya atau laris dagangannya, suami saya mengatakan kepada si bapak bahwa “mungkin itu jin yang mengaku Nabi Khidir. Tasbihnya jadi hilang karena jinnya takut diajak ke Mekkah”. Si bapak lugu itu hanya tertawa terkekeh-kekeh...
Ya, ragam hal yang saya amati selama hampir 2 pekan di Mekkah. Utamanya terkait perilaku orang-orang yang hilir mudik di pemondokan. Setiap hari, saya meluangkan waktu untuk turun ke lobi untuk akses internet. Selain untuk komunikasi tugas perkuliahan atau bimbingan tesis dengan mahasiswa, saya kerap mengamati kebiasaan jamaah yang berada di area lobi yang luas itu. Lazimnya mereka menggunakan area lobi untuk menerima tamu atau berkomunikasi dengan keluarga di Indonesia memanfaatkan Skype/WA/Line yang berbasis Wifi. Banyak juga pasangan suami istri yang makan minum bersama. Maklum, di pemondokan, kamar suami istri terpisah. Sehingga bila mereka ingin berinteraksi, biasanya memanfaatkan lobi untuk makan bersama atau sekedar ngobrol. Yang tidak lazim diantaranya adalah...
Pernah di hadapan saya, sepasang suami istri tidur-tiduran di sofa dengan selonjor dengan pose yang pantasnya mungkin hanya dilakukan di kamar pribadi. Padahal mereka adalah jamaah haji dan sedang berada di ruang publik. Astaghfirullaahaladziim... Beberapa kali juga saya mendapati seorang bapak yang duduk dengan kaki diletakkan di atas meja dengan pose yang mungkin juga kurang pantas secara adap di tempat umum.
Untuk urusan merokok, sangat baaaaanyak sekali yang tidak merasa bersalah bila merokok di tempat ber-AC. Tidak hanya di lantai pemondokan saya yang bapak-bapaknya merokok di kamar, tetapi juga di gang-gang hotel sembari lesehan di lantai dengan minum kopi. Termasuk pula di lobi hotel. Meski areanya luas, buat saya yang memiliki asma, kepulan rokok dari depan belakang kanan dan kiri secara bersamaan dapat langsung membuat hidung saya bereaksi dan kepala seketika migrain atau terasa pening. Pada saat pertemuan kloter, saya sempat memohon kepada dokter kloter untuk menghimbau kepada bapak-bapak yang merokok untuk merokok di luar ruangan. Terlebih, rata-rata kondisi jamaah sudah mulai terserang batuk pilek. Setiap kali sholat berjamaah, selalu bersahut-sahutan suara bersin dan sroot pilek.
Untuk urusan merokok, saya memang sensitif. Pasalnya, mereka-mereka yang merokok kerap kali egois. Mereka sering merokok tidak peka tempat. Di pemondokan, saya amati, justru bapak-bapak yang merokok semau gue itu justru yang berpendidikan dan secara penampilan perlente atau memiliki tingkat ekonomi yang lebih baik. Justru mereka-mereka ini yang lebih garang bila diingatkan untuk tidak merokok di tempat ber-AC.
Sejumlah cerita lucu juga saya dapati. Di kamar sebelah, ada seorang ibu yang tidak menyapa teman sekamarnya. Alasannya, kalau tidur selalu ngorok keras sekali. Padahal, kata ibu yang lain, yang tidak mau bertegur sapa itu ya bila tidur juga mengorok keras... Cerita sedikit mengharukan juga terjadi pada seorang ibu yang termasuk kategori lansia. Si ibu berusia 65 tahun ini berangkat haji sendirian. Tuturnya, suaminya memang tidak tergerak untuk naik haji. Dulu ia mendaftar diam-diam saking inginnya bisa berhaji. Pengakuannya, ia meniru film Tukang Bubur Naik Haji yang setiap kali melakukan aktifitas berdoa ‘labbaikallaahumma labbaik’. Termasuk ketika beraktifitas di dapur, mulai dari cuci piring, menanak nasi, mengulek, merajang sayur, dan lain-lain selalu dengan doa-doa tersebut yang menemani. Jelang keberangkatan, suaminya selalu marah-marah. Kalau ada tamu, suaminya malah asyik bermain orari dan tidak mau menemui tamu. Pas hari keberangkatan, suaminya hanya berkata 'budal wes'. Dan selama di Mekkah, suaminya tdk pernah SMS atau telpon menanyakan keadaan istrinya. Istrinya sedih dan selalu nangis mengingat suaminya. Ia merasa tidak berarti. Setiap kali usai sholat di Masjidil Haram, ia selalu memanjatkan doa agar diberi kesempatan kembali mengunjungi Baitullah bersama sang suami. Bila tidak mungkin untuk melakukan haji mengingat usia, semoga diizinkan untuk berumroh bersama suami.
Ya, rata-rata usia jamaah haji di rombongan saya berusia 50 tahun ke atas dengan dominasi usia mungkin di atas 60 tahun. Teman sekamar saya, dua orang berusia 65 tahun dan satu berusia 58 tahun. Satu diantaranya yang berusia 65 tahun itu selalu kencing tanpa ia menyadarinya. Beberapa hari pertama, kamar mandi sering berbau pesing. Setelah selidik penuh selidik, akhirnya saya mengetahui penyakit ibu tersebut. Saya ajak ibu itu ke klinik kesehatan sembari berupaya mencari diapers untuk orang tua untuk mengurangi dampak penyakitnya itu. Sedihnya, ketika saya mengupayakan agar ibu tersebut mendapat pengobatan, pihak kloter dari Kemenag dan dokter kloter cenderung meminta saya atau teman sekamar yang mengurusi ibu tersebut karena sejumlah alasan. Termasuk untuk membawa ibu tersebut ke Sektor untuk mendapat pengobatan dan mencarikan diapers. Padahal, kami tidak ada yang tahu apa dan di mana Sektor, harus menemui siapa, membawa surat pengantar apa, dan kalau harus mencari diapers harus di toko apa karena kami masih hitungan hari berada di Mekkah. Kesabaran dan keikhlasan memang menjadi ujian buat kami. Dan yang menambah sedih adalah... ternyata salah satu ibu di kamar saya itu sesungguhnya membawa diapers meski tidak banyak. Tujuannya membawa hanya untuk jaga-jaga ketika perjalanan di pesawat atau di bis. Padahal, dari sisi urgensi, diapers itu sangat dibutuhkan buat ibu yang sering pipis tidak sadar itu. Mengapa ibu itu tidak meminjamkan kepada ibu yang sakit tersebut sembari kami menemukan toko yang menjual diapers?
Berkumpul bersama ibu-ibu lansia memang unik. Di awal pertemuan, saya harus mengutak atik HP mereka agar mereka bisa berkomunikasi dengan menggunakan nomor Arab Saudi. Setiap beberapa hari sekali, saya juga harus mengetikkan SMS kepada anak-anak mereka di Indonesia untuk mengabari keadaan orangtua mereka. Sempat juga suami teman sekamar saya yang ‘hilang’ sejak Dhuhur hingga tengah malam. Istrinya sedih sekali dan berulang kali memaksa saya ke kantor polisi setelah berulang kali mengadu ke Pimpinan KBIH hanya mendapat respon ‘berdo’a saja Bu, insyaAllah nanti pulang sendiri atau ada yang mengantarkan pulang’. Saya juga hanya bisa menghela nafas dengan respon yang ‘menggantung’ seperti itu. Tidak mudah juga membujuk ibu tersebut agar bersabar menanti suaminya. Bu Nyai sebuah pondokan di Lumajang tersebut akhirnya tertidur dengan isak tangis karena khawatir dengan suaminya yang berusia 75 tahun yang tidak pernah menggunakan HP dan hanya bisa berbahasa Madura itu masih belum pulang. Alhamdulillah, tepat jam 12 malam, Pak Kyai akhirnya pulang diantar taksi. Entah bagaimana ceritanya, saya tidak menanyakan ke mana dan bagaimana selama beliau ‘menghilang’ hampir 12 jam tanpa kejelasan tersebut...
Hal lain yang saya amati adalah narsis ketika prosesi ibadah. Sepasang suami istri yang berlatar belakang pengusaha, saya dapati berulang kali melakukan selfie ketika proses sa’i dengan menggunakan tongsis berulang kali sembari tersenyum manis. Entahlah, sa’i yang dapat dimaknai sebagai proses napak tilas mengingat sejarah Siti Hajar bersama Ismail kecil yang mencari air di Mekkah yang tandus dengan pesan agar umat manusia senantiasa berusaha dalam kehidupan dan memasrahkan hasilnya pada Allah semoga masih bersisa dalam ingatan...
Ya, saya lebih banyak mengamati dan mencoba berkontemplasi terhadap hal-hal yang terjadi pada diri saya dan orang-orang sekitar saya. Saya yang under estimate terhadap kemampuan saya untuk menjalani umroh ke-4 pada hari ke-5 di Mekkah, bahkan saya sudah merancang untuk tidak melanjutkan prosesi umroh bila tak kuat, justru ‘dikejutkan’ karena mampu menyelesaikannya dengan kondisi tubuh dan kaki yang terasa lebih sehat dan ringan daripada umroh-umroh sebelumnya. Kalau tidak karena pertolongan Allah, mana mungkin saya mampu melakukannya... Sebagaimana kata banyak orang, perjalanan ibadah haji memang akan banyak cerita. Karakter diri sesungguhnya akan muncul tanpa sadar di tempat ini. Bagi mereka yang melakukan sesuatu yang tak baik, Allah juga akan menegurnya secara langsung. Duhai Allah, jauhkan hamba dari penyakit hati. Jangan biarkan hati ini tergelincir dari perasaan yang membuat Engkau tak ridha padaku. Duhai Allah, pahamkan aku atas berbagai cerita dan pemandangan yang Engkau hadirkan untukku agar semakin tundukku kepadaMu...
Ketika merenung, saya merasa mabrurnya haji sepertinya memang hanya Allah yang tahu. Manusia sulit dan mungkin tak pantas juga untuk menilai seseorang berhaji mabrur atau tidak. Realitas menunjukkan badah haji tidak selalu berkorelasi dengan semakin baik perilaku, keimanan dan ketakwaan seseorang. Setidaknya yang juga saya amati, seseorang dalam rombongan saya yang berulang kali mengatakan bahwa dirinya sudah 24 kali naik haji, ternyata tak santun ketika berbicara dengan orang tua. Nadanya selalu keras dan cenderung membentak-bentak.
Sungguh, kesejatian manusia, setidaknya buat saya seolah terhampar pula dari pengalaman ‘gemuruh’ di Masjidil Haram. Selama 11 hari di Mekkah, setidaknya 2x terjadi ‘gemuruh’ yang membuyarkan shaf-shaf jamaah yang hendak sholat Subuh. Ya, ada yg 'aneh' di sini. Pasca kejatuhan crane yang makan korban, dua kali ketika jelang sholat Subuh itu terjadi 'kerusuhan' di Masjidil Haram. Tiba-tiba ada suara gemuruh sangaaat keras, seperti ada angin kencang atau hujan yang tiba-tiba turun deras atau suara yang seolah dapat menjatuhkan langit-langit Masjidil Haram yang intinya membuat jamaah yang hendak sholat Subuh berlarian karena takutnya. Ada yang sampai kacamatanya jatuh, dompet atau tasnya hilang, dan lain-lain. Setelah suara itu usai, seperti tidak terjadi apa-apa. Tidak ada penjelasan dari pihak Masjidil Haram terkait peristiwa tersebut. Saya sempat membatin, wah ini ada malaikat yang lewat mungkin. Ketika ngobrol dengan jamaah dari Turki dan jamaah dari Batam, ternyata mereka meyakini bahwa itu setan yang mengganggu...
Suara itu hanya sesaat. Mungkin hanya sekitar 3-5 detik. Tapi kami semua ketakutan. Semua lantai di Masjidil Haram, baik shaf laki dan perempuan, semuanya berhamburan berlarian. Termasuk saya. Tapi kemudian ada iqomat untuk sholat Subuh, saya beranikan diri menghamparkan sajadah untuk sholat. Tapi saya sholat dengan menangis ketakutan sembari berdoa “bila terjadi sesuatu ketika saya sholat, mohon menjadi syahid ya Allah”... Sungguh, naluriah dan manusiawinya manusia bila berhamburan berlarian mencari perlindungan ketika sesuatu akan menimpanya. Suara 'gemuruh' menandakan sesuatu yang akan terjadi. Tapi kami semua mungkin berprasangka tidak baik sehingga kewajiban untuk sholat terganggu... Banyak sekali interpretasi yang bisa dihadirkan untuk memaknai kisah ini...
Ya, cerita 'gemuruh' ini mungkin hanya menjadi sekedar obrolan. Karena kami semua tidak tahu suara apa itu. Setelah suara itu muncul, seperti tidak terjadi apa-apa. Kata suami saya yang shaf-nya dekat Ka'bah, setelah adanya suara tersebut, ada petugas yang memberi kode lambaian tangan kepada imam untuk melanjutkan iqomat. Makanya imam langsung memimpin sholat Subuh seperti tidak ada kejadian apa-apa. Padahal shaf-shaf sudah banyak yang kosong karena semua berhamburan berlarian... Kisah tersebut saya share kepada beberapa grup terdekat saya. Beberapa komentar membuat saya harus menarik nafas panjang... Salah satunya penjelasan dari seorang Ketua MUI di daerah saya yang juga menjadi penggiat Forum Sejahtera Indonesia-Malaysia... Juga dari seorang sahabat yang sudah lebih dahulu menjalankan ibadah haji...








Ya, kesejatian manusia mungkin akan dapat lebih diperoleh ketika wukuf. Wukuf adalah inti haji. Wukuf adalah puncak haji. Secara fisik, wukuf Arafah adalah puncak berkumpulnya seluruh jamaah, yang berjumlah jutaan, dari penjuru dunia dalam waktu bersamaan. Secara amaliah, wukuf Arafah mencerminkan puncak penyempurnaan haji. Di Arafah inilah Rasulullah menyampaikan khutbahnya yang terkenal dengan nama khutbah wada’ karena tak lama setelah menyampaikan khutbah itu beliaupun wafat. Di saat itu, melalui QS al-Ma’idah: 3, Allah SWT berfiman “...Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu….”. Hari ini 7 Dzulhijjah. Esok, pukul 7 pagi saya bersama rombongan akan berangkat ke Arafah. Dan lusa, insyaAllah kami semua para jamaah haji seluruh dunia akan menjalani wukuf Arafah.
Duhai Allah,
Aku datang memenuhi panggilanMu
Pahamkan aku atas kesejatianku sebagai ciptaanMu
Duhai Allah,
Aku datang memenuhi panggilanMu
Pahamkan aku atas ayat-ayat kauliyah dan kauniyahMu agar semakin taat diri ini kepadaMu
Duhai Allah,
Aku datang memenuhi panggilanMu
Tapi, pantaskah aku menjadi haji mabrur?
Bila tidak karena rahmatMu menutupinya, maka sungguh aib dan dosa serta maksiat ini akan terbuka di hadapan manusia
Duhai Allah, Aku datang memenuhi panggilanMu Mampukan aku berkhalwat denganMu agar ketaatanku kepadaMu melampaui ketaatanku pada dunia dan seisinya
Duhai Allah,
Aku datang memenuhi panggilanMu
KSA, 7 Dhulhijjah 1436H

Dr. Khairunnisa Musari, ST, M.MT. (Pemerhati Sekolah Islam Terpadu Lumajang)

Rabu, 16 September 2015

HADITS DHOIF (lemah) : “Kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar”

 
رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الأَكْبَرِ، قَالُوا وَمَا الْجِهَادُ الأَكْبَرُ؟ قَالَ جِهَادُ الْقَلْب
Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar. (para sahabat) bertanya: Apakah jihad yang besar itu? Rasulullah SAW bersabda: jihad (dalam) hati.

Dalam riwayat lain, ungkapannya berbunyi:
رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الأَكْبَرِ ، جهاد النفس
Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar (yaitu) jihad melawan hawa nafsu.

  • Jamaluddin abdullah bin Yusuf az-Zaila’y dalam kitab Takhrij al-Ahadits wal Atsar al-Waqi’ah fi Tafsir al-Kasyaf lil Zamakhsyari bahwa hadis ini Gharib jiddan (sangat asing/aneh) dan mengutip pernyataan al-Baihaqi bahwa hadis ini dho’if.
  • Dalam Kasyful Khofa’ diterangkan bahwa Al-Hafidz al-‘Iraqy dalam takhrij hadis al-Ihya’ menegaskan kedho’ifan hadis tersebut dalam sanadnya. Juga mengutip pernyataan al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolany bahwa hadis ini masyhur (populer) dalam pembicaraan orang (padahal) itu adalah perkataannya Ibrahim bin Abi Ablah (lihat Kasyful Khofa’ hal 424,425). Siapakah Ibrahim bin Abi Ablah? Beliau adalah seorang shigor tabi’in (tabi’in yunior) yang lahir di Negeri Syam, Palestina setelah tahun 60 H dan wafat tahun 152 H.
  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: (hadis ini) la ashla lahu (tidak jelas sumber sanadnya), tidak ada seorangpun di antara para ulama yang meriwayatkanya sebagai perkataan dan perbuatan Nabi SAW. Jihad menghadapi orang-orang kafir termasuk amal yang paling utama, bahkan jihad merupakan amal paling afdhol (utama) sebagai tatawwu’ manusia. (Majmu’ Fatawa 11/197).
  • Syaikh al-Albani juga menyimpulkan bahwa hadis ini nilainya mungkar (lihat penjelasan panjang lebar Syaikh al-Albani tentang sisi kelemahan hadis ini dalam Silsilah Ad-dho’ifah wal Maudu’ah 5/478 nomor 2460).

HEWAN QURBAN MENJADI TUNGGANGAN DI HARI KIAMAT ???

Oleh M. Syukrillah, M.Th.I
Qurban
Pernahkah mendengar hadis ini dari para penceramah?
اسْتَفْرِهُوا ضَحَايَاكُمْ ، فَإِنَّهَا مَطَايَاكُمْ عَلَى الصِّرَاطِ
‘Perbaguslah hewan qurban kalian, karena dia akan menjadi tunggangan kalian melewati shirath”.

Hadis ini sangat lemah (dho’if Jiddan) karena perawi Yahya bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Mauhab yang disepakati kedho’ifannya oleh para ulama hadis bahkan dia matruk, meriwayatkan hadis mungkar dan la ashla lahu dari bapaknya sebagaimana dijelaskan Ibn Hibban dan dituduh melakukan pemalsuan oleh al-Hakim. Apalagi tidak ditemukan syawahid dan mutaba’ah untuk riwayat ini.
(lihat Al-Talkhis al-Habir fi Takhrij Ahadits al-Rafi’i al-Kabir (4/341-342 Dar Kutub al-‘Ilmiyah), Al-Maqoshid al-Hasanah (hal. 114, hadis no. 108), Kasyf al-Khofa (1/138), Asnal Matholib (hal. 53), Silsilah Ahadis al-Dho’ifah wal maudhu’ah (6/207 hadis no. 2687).
Oleh karena itu, hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujjah walaupun untuk motivasi beramal (targhib fi fadho’il a’mal), apalagi untuk diyakini.
(lihat syarat hadis dho’if yg boleh diamalkan dlm Tadrib ar-rowi 1/351, Qowa’id Tahdis hal. 116, Taisir Mustholah al-Hadis, hal. 81, dll)

Jangan Berzikir Dan Bershalawat Keras2 antara Waktu Azan dan Iqomah, Jika…

Oleh M. Syukrillah, M.Th.I.

masjid
Antara waktu adzan hingga iqomah, kita sering menyaksikan di banyak masjid, musholla, dan langgar sang muazin berdzikir, bershalawat dengan bersenandung, atau menyanyikan sya’ir tertentu dalam bahasa Arab atau bahasa Indonesia atau bahasa daerah.
Hal ini dilakukan dengan suara keras bahkan dengan pengeras suara, sendirian atau bersama-sama dgn jama’ah yang lain. Mungkin, tujuannya untuk menunggu jama’ah datang ke masjid/musholla dan selesai melakukan sholat sunnah.
Bagaimana Aturan Syari’at Tentang Praktek Ini?
Praktek semacam ini mengganggu orang-orang yang sedang sholat sunnah yang sedang bemunajat kepada Rabb-nya.
Sehingga Asy-Syaikh DR. Hisamuddin ‘Afanah menilainya sbg bid’ah yang menyelisihi aturan syari’at. (Fatawa Yas’alunaka 3/184)
Membaca Al-Quran dengan suara keras saat ada sholat saja dilarang apalagi menyanyikan sya’ir dan melagukan dzikir atau shalawat. (lihat Sayyid Sabiq dlm Fiqh Sunnah 1/251, Abu al-Walid Al-Bajiy, al-Muntaqo Syarh al-Muwathho’ 1/150).
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
إِنَّ الْمُصَلِّي يُنَاجِي رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يُنَاجِيْهِ وَ لاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ
Sesungguhnya orang yang shalat sedang bermunajat kepada Tuhannya, maka hendaknya ia memperhatikan isi munajatnya dan janganlah satu sama lain mengeraskan mengeraskan bacaan Al Qur’annya.” (HR. Thabrani dari Abu Hurairah dan Aisyah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1951)
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu, saat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam beri’tikaf di masjid beliau mendengar para sahabatnya mengeraskan bacaan Al-Qur’an. Lalu beliau membuka kain penutup dan bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya setiap kalian bermunajat kepada Rabb-nya. Janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain, jangan pula sebagian kalian meninggikan suara bacaan atas sebagian yang lain.” (HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan al-Hakim, Shahih menurut Imam Nawawi dan al-Albany).
Maka, Jangan Berzikir Dan Bershalawat Keras2 antara Waktu Azan dan Iqomah, jika ada orang lain yang sedang sholat sehingga dikhawatirkan mengganggu kekhusyu’annya…
Semoga bermanfaat…

الجامع الصحيح ومنهج البخاري في تأليفه


أ. اسم الكتاب الكامل ودلالته
وجد الباحث الإختلاف في ذكر الاسم الكامل لهذا الكتاب إلى ثلاثة أشماء : (1) “الجامع المسند الصحيح المختصر من أمور رسول الله صلى الله عليه وسلم وسننه وأيامه”.[1] (2) المسند الجامع الصحيح المختصر من أمور رسول الله-صلى الله عليه وسلم-وسننه وأيامه.[2] (3) “الجامع الصحيح المسند من حديث رسول الله وسننه وأيامه”.[3] ويقال له الجامع الصحيح،[4] ويقال اختصاراً: صحيح البخاري وهو المشهور بين الناس.
وحقق الشيخ عبد الفتاح أبو غُدة (1418 هـ) اسم صحيح البخاري، ضمن جزء خصة لهذا الموضوع سماه (تحقيق اسمي الصحيحين واسم جامع الترمذي) وأثبت أن عنوانه الكامل ” الجامع المسند الصحيح المختصر من أمور رسول الله صلى الله عليه وسلم وسننه وأيامه” ورجح الشارف حاتم العوني نتيجة تحقيق أبو غدة.[5]
ولهذه التسمية دلالات تستفاد من اسمه:[6] (الجامع) أنه يجمع الأحكام والفضائل والأخبار عن الأمور الماضية، والآتية، والآداب، والرقائق، والتفسير. ويستفاد من اسمه : ( الصحيح) أنه احترز عن إدخال الضعيف في كتابهِ، وقد صح عن الإمام البخاري أنّه قال : (ما أدخلت في كتابي الجامع إلا ما صح). ومن اسمه : (المسند) أن مقصوده الأصلي تخريج الأحاديث المتصل إسنادها بالصحابةِ إلى رسول الله صلى الله عليه وسلممن قولٍ، أو فعلٍ، أو تقريرٍ، وأنّ ما وقع في الكتاب من غير ذلك فإنما وقع تبعاً وعرضاً لا أصلاً ومقصوداً، وذكر للاستشهاد والاستئناس ليكون الكتاب جامعاً لمعاني الإسلام. وكلمة ” المختصر “هذه صريحة بأن الإمام البخاري لم يقصد استيعاب كل الأحاديث الصحيحة، أنه لم يُرِد استيعاب كل الأحاديث الصحيحة ، فلا شك أن هناك أحاديث صحيحة كثير يعرفها البخاري غير التي ذكرها في الصحيح، وقد صرح بذلك عندما قال: “أحفظ مائة ألف حديث صحيح”. وهذا ما قرره الحافظ ابن حجر في مقدمة فتح الباري حيث قال في أول الفصل الثاني : “وتقرر أنه ـ أي البخاري ـ التزم فيه الصحة وأنه لا يورد فيه إلا حديثاً صحيحاً، هذا أصل موضوعه وهو مستفاد من تسميته إياه : الجامع الصحيح المسند من حديث رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم وسننه وأيامه”.[7]
ب. سبب تأليف صحيح البخاري:
اختصر الباحث أسبابا ثلاثة دعت الإمام البخاري رحمه إلى تأليف كتابه الجامع الصحيح وهي :[8]
أحدها: أنه وجد الكتب التي ألفت قبله بحسب الوضع جامعة بين ما يدخل تحت التصحيح والتحسين والكثير منها يشمله التضعيف فلا يقال لغثه سمين، قال فحرك همته لجمع الحديث الصحيح الذي لا يرتاب في صحته أمين.
الثاني: قال وقوّى عزمه على ذلك ما سمعه من أستاذه أمير المؤمنين في الحديث والفقه إسحاق بن إبراهيم الحنظلي المعروف بابن راهوية وساق بسنده إليه أنه قال: “كنا عند إسحاق بن راهوية فقال: “لو جمعتم كتاباً مختصرا لصحيح سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم”، قال: “فوقع ذلك في قلبي فأخذت في جمع الصحيح”.
الثالث: قال: وروينا بالإسناد الثابت عن محمد بن سليمان بن فارس قال سمعت البخاري يقول: “رأيت النبي صلى الله عليه وسلم وكأني واقف بين يديه وبيدي مروحة أذب بها عنه، فسألت بعض المعبرين فقال لي: “أنت تذب عنه الكذب فهو الذي حملني على إخراج الجامع الصحيح”.
ج. عناية الإمام البُخَاريِّ بالجامع الصَّحيح
ولقد كانت عناية الإمام البخاري بمصنفاته كبيرة ، وروى عنه أنه قال : صنفت جميع كتبي ثلاث مرات[9] ، أي أنه ما زال ينقحها ويراجعها أكثر من مرة. وقال : ما وضعت في كتاب الصحيح حديثاً إلا اغتسلت قبل ذلك وصليت ركعتين،[10] والبخاري لم يذكر في هذا الكتاب كل مروياته ومحفوظاته وإنما ذكر جزءا يسيرا جدا مما يحفظ وإنما انتقاه من حفظه. وقد ثبت عنه من طرق كثيرة قوله: أخرجت هذا الكتاب-يعني الصحيح-من زهاء ستمائة ألف حديث، وجعلت حجة بيني وبين الله.[11] وقال : صنفت كتابي ( الجامع) في المسجد الحرام ، وما أدخلت فيه حديثاً حتى استخرت الله تعالى، وصليت ركعتين وتيقنت صحته.[12]
قال الحافظ ابن حجر : الجمع بين هذا وبين ما تقدم أنه كان يصنفه في البلاد: أنه ابتدأ تصنيفه وترتيبه وأبوابه في المسجد الحرام ، ثم كان يخرج الأحاديث بعد ذلك في بلده وغيرها، ويدلّ عليه قوله : إنه أقام فيه ست عشرة سنة ، فإنه لم يجاور بمكة هذه المدة كلها ، وقد روى ابن عديًّ عن جماعة من المشايخ أن البخاري حوّل تراجم جامعه بين قبر النبي – صلى الله عليه وسلم – ومنبره وكان يصلي لكل ترجمة ركعتين. قال الحافظ : ولا ينافي هذا أيضاً ما تقدم لأنه يحمل على أنه كتبه في المسودّة وهنا حوّله من المسودّة إلى المُبيضة.[13]
ولما صنف البخاري كتابه (الصحيح) عرضه على ابن المديني ، وأحمد بن حنبل ، ويحيى بن معين ، وغيرهم فاستحسنوه وشهدوا له بالصحة إلا أربعة أحاديث، قال العقيلي : والقول فيها قول البخاري، وهي صحيحة.[14] وكان الإمام البخاري رحمه الله يعقد مجالس علمية لإملاء الحديث وكتابة (الصحيح) وقد ذكر الفربري انه قد سمع منه – يعني البخاري – تسعون ألف رجل، وآخر من سمع منه ببغداد القاضي حسين المحاملي.[15]
د. موضوع الكتاب :
موضوع الكتاب هو الأحاديث المسندة الصحيحة على شرط الإمام البخاري وهو الأصل،[16] ويدل لذلك أمور منها (1) تسميته لكتابه الجامع المسند الصحيح المختصر من أمور رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وسننه وأيامه” (2) تصريحه بذلك في نصوص كثيرة نقلت عنه تقدم ذكر بعضها في السبب الباعث له على تأليفه وفي التنويه بمدى عنايته في تأليفه ومن ذلك غير ما تقدم ما نقله الإسماعيلي عنه أنه قال: “لم أخرج هذا الكتاب إلا صحيحا وما تركت من الصحيح أكثر”. وروى إبراهيم بن معقل عنه أنه قال: “ما أدخلت في كتابي الجامع إلا ما صح وتركت من الصحيح حتى لا يطول”.[17]
وجدير بالذكر أن صحيح البخاري كما أنه يشتمل على الأحاديث الصحيحة التي هي موضوع الكتاب فهو يشتمل أيضا على ما في تراجم أبوابه من التعليقات والاستنباط وذكر أقوال السلف وغير ذلك مما ليس داخلا في موضوع كتابه، قال الحافظ ابن حجر في مقدمة فتح الباري بعد الإشارة إلى موضوع الكتاب: “ثم رأى أن لا يخليه من الفوائد الفقهية والنكت الحكمية فاستخرج بفهمه من المتون معاني كثيرة فرقها في أبواب الكتاب بحسب تناسبها واعتنى فيه بآيات الأحكام فانتزع منها الدلالات البديعة وسلك في الإشارة إلى تفسيرها السبل الوسيعة”. وبذلك جمع الإمام البخاري رحمه الله في كتابه الجامع الصحيح بين الرواية والدراية بين حفظ سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم وفهمها.
هـ. ترتيب أحاديث الكتاب :
في الإجمال أنه مرتب على أبواب الجوامع . وأما في التفصيل كما يلي :
1- وقد رتبه مؤلفه أبو عبد الله محمد بن إسماعيل البخاري على الأبواب مُفتتحا إيَّاه بكتاب بدء الوحي ثم كتاب الإيمان ثم سرد كتب العلم والطهارة وغيرها حتى انتهى بكتاب التوحيد ومجموع تلك 97 كتابا كل كتاب منها مُجَزَّءٌ إلى أبواب، وتحت كل باب عدد من الأحاديث. إن بدأه البخاري بالأحاديث المتعلقة بالعقائد ثم العبادات ثم المعاملات ثم بقية أبواب الجوامع التي ذكرت سابقاً وختم الكتاب بمثل ما بدأه به من العقائد فختمه بكتاب التوحيد، فكأن له في هذا قصد وهو أنه أراد القارئ يبدأ بالإيمان فطرة وتنتهي بالتوحيد خاتمة.
2- يُقدم في الباب أصح أحاديثه، وهذه طريقة متبعة عند كثير من المحدثين الذين صنفوا كتبهم بحسب أبواب الفقه. مجمل طريقة الإمام البخاري في تخريج الحديث : (1) يروي الحديث بإسناده متصلاً ، وهي مقصوده بالصحيح. (2) يُعلق الحديث بحذف إسناده، أو بحذف صيغة أدائه عن شيخه، أو بذكر بعض إسناده، وكل ذلك بصيغة الجزم التي الأصل فيها الصحة، أو بصيغة التمريض التي الأصل فيها التضعيف، والمعلقات ليست من شرطه.
و. منهج الإمام البخاري في صحيحه:
1-يكرر الأحاديث ويقطعها لفائدة إسنادية أو متنية أو يكون الحديث عن صحابي فيعيده عن صحابي آخر، أو أن يسوقه بالعنعنة ثم يعيده بالتصريح بالسماع.[18]
2- استنباط الفوائد الفقهية والنكت الحكمية، فاستخرج بفهمه الثاقب من المتون معاني كثيرة فرَّقها في أبوابه بحسب المناسبة، واعتنى فيها بآيات الأحكام، ومن ثم أخلى كثيراً من الأبواب من ذكر إسناد الحديث واقتصر على قوله: فلان عن النبي صلى الله عليه وسلم ، وقد يذكر المتن بغير إسناد، وقد يورده معلقاً لقصد الاحتجاج لما ترجم له وأشار للحديث لكونه معلوماً أو سبق قريباً.[19]
3-  تراجم البخاري في صحيحه: أن تراجم البخاري في صحيحه على نوعين: (أ) ظاهرة: وهي أن تكون دالة بالمطابقة لما يورد في مضمونها.. وقد تكون بلفظ المترجم له أو بعضه أو بمعناه. (ب) خفية: وهي التي لا تدرك مطابقتها لمضمون الباب إلا بالنظر الفاحص والتفكير الدقيق. وهذا الموضع هو معظم ما يشكل من تراجم هذا الكتاب، ولهذا اشتهر من قول جمع من الفضلاء فقه البخاري في تراجمه وأكثر ما يفعل البخاري ذلك إذا لم يجد حديثا على شرطه في الباب ظاهر المعنى في المقصد الذي ترجم به ويستنبط الفقه منه، وقد يفعل ذلك لغرض شحذ الأذهان في إظهار مضمره واستخراج خبيئه، وكثيرا ما يفعل ذلك أي هذا الأخير حيث يذكر الحديث المفسر لذلك في موضع آخر متقدما أو متاخرا، فكأنه يحيل عليه ويومئ بالرمز والإشارة إليه.[20]
4- تنوع تراجم البخاري: قال صديق حسن خان في الحطة[21]: وجملة تراجم أبوابه تنقسم أقساماً؛ منها أنه يترجم بحديث مرفوع ليس على شرطه ويذكر في الباب حديثاً شاهداً على شرطه، ومنها أنه يترجم بحديث مرفوع ليس على شرطه لمسألة استنبطها من الحديث بنحو من الاستنباط من نصه أو إشارته أو عمومه أو إيمائه أو فحواه، ومنها أنه يترجم بمذهب ذهب إليه ذاهبٌ قبله، ويذكر في الباب ما يدل عليه بنحو من الدلالة لو يكون له شاهداً في الجملة من غير قطعٍ بترجيح ذلك المذهب فيقول: باب من قال كذا. ومنها أنه يترجم بمسألة اختلفت فيها الأحاديث، فيأتي بتلك الأحاديث على اختلافها، ليقرب إلى الفقيه من بعده أمرها.
ز. عدد أحاديث صحيح البخاري :
قد حرّر الحافظ ابن حجر عدد الأحاديث المرفوعة في صحيح البخاري والمعلقة وأوضح ذلك في مقدمة الفتح إجمالا وتفصيلا :
1 – عدد الأحاديث المرفوعة الموصولة بما فيها المكررة 7397 حديثا
2 – عدد الأحاديث المرفوعة المعلقة بما فيها المكررة 1341 حديثا
3 – عدد ما فيه من المتابعات والتنبيه على اختلاف الروايات 344 حديثا
4 – عدد ما فيه من الموصول والمعلق والمتابعات المرفوعة بالمكررة 9082 حديثا
5 – عدد الأحاديث المرفوعة الموصولة بدون تكرار 2602 حديثا
6 – عدد الأحاديث المعلقة بدون تكرار 159 حديثا
7 – عدد الأحاديث المرفوعة موصولة أو معلقة بدون تكرار 2761 حديثا[22]
وهذه الأعداد إنما هي في المرفوع خاصة دون ما في الكتاب من الموقوفات على الصحابة والمقطوعات عن التابعين ومن بعدهم، وبعد ذكر الحافظ ابن حجر لجملة الأحاديث بدون تكرار قال: “وبين هذا العدد الذي حررته والعدد الذي ذكره ابن الصلاح وغيره تفاوت كثير”، ويعني بذلك ما جاء عن ابن الصلاح حيث قال في علوم الحديث: “وقد قيل إنها بإسقاط المكررة أربعة آلاف حديث” ثم إنه علل ذلك بقوله: “يحتمل أن يكون العدد الأول الذي قلدوه في ذلك كان إذا رأى الحديث مطولا في موضع آخر يظن أن المختصر غير المطول إما لبعد العهد به أو لقلة المعرفة بالصناعة ففي الكتاب من هذا النمط شيء كثير وحينئذ يتبين السبب في تفاوت ما بين العددين. [23]
ح. من شروح صحيح البخاري :
لم يحظ كتاب بعد كتاب الله بعناية العلماء مثل ما حظي كتاب صحيح البخاري ، فقد اعتنى العلماء والمؤلفون به : شرحًا له واستنباطاً للأحكام منه وتكلماً على رجاله وتعاليقه وشرحاً لغريبه وبياناً لمشكلات إعرابه إلى غير ذلك ، وقد تكاثرت شروحه حتى بلغ عدد شروحه والتعليقات عليه أكثر من مائة وثلاثين شرحاً، وأشهر هذه الشروح :[24]
(1)            شرح العلامة شمس الدين محمد بن يوسف بن على الكرماني (786 هـ) سماه “الكواكب الدراري في شرح صحيح البخاري”
(2)            شرح الحافظ أبي الفضل أحمد بن على ابن محمد بن محمد بن حجر العسقلاني (773-852 هـ) سمى شرحه “فتح الباري بشرح صحيح البخاري” وهو أحسن الشروح وأوفاها.[25] وقد استغرق تأليفه خمساً وعشرين عاماً إذ بدأ فيه سنة (817هـ) وأكمله سنة (842هـ ) قبل وفاته بعشر سنين
(3)            شرح العلامة بدرالدين محمود بن أحمد العيني الحنفي (762 -855 هـ) وقد سمى شرحه “عمدة القاري.
(4)            شرح العلامة شهاب الدين أحمد بن محمد الخطيب المصري الشافعي المشهور بالقسطلاني (ت 922 هـ) وهو شرح أوجز من سابقيه وكثيرا ما يعتمد فيه على كلام من سبقه ولاسيما صاحب الفتح وقد سماه “إرساد الساري إلى صحيح البخاري”.
ط. الانتقادات على البخاري والرد عليها:
 وقد تكلم الحافظ بن حجر في هدي الساري عن الانتقادات الموجهة إلى الصحيحين فأورد الجواب عنه على سبيل الإجمال: أن نقول لا ريب في تقديم البخاري ثم مسلم على أهل عصرهما ومن بعده من أئمة هذا الفن في معرفة الصحيح والمعلل، فإنهم لا يختلفون في أن علي بن المديني كان أعلم أقرانه بعلل الحديث، وعنه أخذ البخاري ذلك، حتى كان يقول ما استصغرت نفسي عند أحد إلا عند علي بن المديني ومع ذلك فكان علي بن المديني إذا بلغه ذلك عن البخاري يقول: دعوا قوله فإنه ما رأى مثل نفسه. وكان محمد بن يحيى الذهلي أعلم أهل عصره بعلل حديث الزهري وقد استفاد منه ذلك الشيخان جميعا وروى الفربري عن البخاري قال: ما أدخلت في الصحيح حديثا إلا بعد أن استخرت الله تعالى وتيقنت صحته… فإذا عرف وتقرر أنهما لا يخرجان من الحديث إلا ما لا علة له أو له علة إلا أنها غير مؤثرة عندهما، فبتقدير توجيه كلام من انتقد عليهما، يكون قوله معارضا لتصحيحهما، ولا ريب في تقديمهما في ذلك على غيرهما، فيندفع الاعتراض من حيث الجملة.[26]
وقال الحافظ ابن حجر في النكت في الكلام على هذه الانتقادات من حيث التفصيل من وجوه؛ منها ما هو مندفع بالكلية ومنها ما قد يندفع:[27]
1- فمنها الزيادة التي تقع في بعض الأحاديث إذا انفرد بها ثقة من الثقات ولم يذكرها من هو مثله أو أحفظ منه، فاحتمال كون هذا الثقة غلط، ظن مجرد وغايتها أنها زيادة ثقة فليس فيها منافاة لما رواه الأحفظ والأكثر فهي مقبولة.
2- ومنها الحديث المروي من حديث تابعي مشهور عن صحابي سمع منه، فيعلل بكونه روي عنه بواسطة، كالذي يروى عن سعيد المقبري عن أبي هريرة ويروى عن سعيد عن أبيه عن أبي هريرة، وأن مثل هذا لا مانع أن يكون التابعي سمعه بواسطة ثم سمعه بدون ذلك الواسطة إلى أن قال: وهذا إنما يطرد حيث يحصل الاستواء في الضبط والإتقان.          
3- ومنها ما يشير صاحب الصحيح إلى علته كحديث يرويه مسندا ثم يشير إلى أنه يروى مرسلا فذلك مصير منه إلى ترجيح رواية من أسنده على من أرسله.
4- ومنها ما تكون مرجوحة بالنسبة إلى صحته كالحديث الذي يرويه ثقات متصلا ويخالفهم ثقة فيرويه منقطعا. أو يرويه  ثقة متصلا ويرويه ضعيف منقطعا.
ي. مكانة صحيح البخاري
هذ الكتاب أول مصنف صنف في الصحيح المجرد وأول الكتب الستة في الحديث وأفضلها عند الجمهور على المذهب المختار المنصور[28] وقال النووي : اتفق العلماء على أن أصح الكتب بعد القرآن الكريم الصحيحان صحيح البخاري وصحيح مسلم وتلقاهما الأئمة بالقبول وكتاب البخاري أصحهما صحيحا وأكثرهما فوائد وقد صح أن مسلما كان ممن يستفيد منه ويعترف بأنه ليس له نظير في علم الحديث وهذا الترجيح هو المختار الذي قاله الجمهور.[29]
ومن الأدلة لتقديم صحيح البخاري على صحيح مسلم وهو أمر مشهور عند أهل العلم وذلك لأمور :[30]
الأول: أن الذين انفرد البخاري بالإخراج لهم دون مسلم أربعمائة وبضعة وثلاثون رجلا، المتكلم فيه بالضعف منهم ثمانون رجلا، والذين انفرد مسلم بالإخراج لهم دون البخاري ستمائة وعشرون رجلا المتكلم فيه بالضعف منهم مائة وستون رجلا، ولا شك أن التخريج عمن لم يتكلم فيه أصلا أولى من التخريج عمن تكلم فيه وإن لم يكن ذلك الكلام قادحا.
الثاني و الثالث: أن الذين انفرد بهم البخاري ممن تكلم فيه لم يكثر من تخريج أحاديثهم وأن أكثرهم من شيوخه الذين لقيهم وجالسهم وعرف من أحوالهم واطلع على أحاديثهم وميز جيدها من موهومها بخلاف مسلم في الأمرين.
الرابع: أن البخاري اشترط ثبوت التلاقي بين الراوي ومن روى عنه ولو مرة واكتفى مسلم بمجرد المعاصرة وذلك واضح الدلالة على تقديم صحيح البخاري على صحيح مسلم لما فيه من شدة الاحتياط وزيادة التثبت.
الخامس: أن ما انتقد على البخاري من الأحاديث أقل عددا مما انتقد على مسلم ولا شك أن ما قل الانتقاد فيه أرجح مما كثر.
وهذه الوجوه بالإضافة إلى اتفاق العلماء على أن البخاري أعلم بهذا الفن من مسلم وأن مسلما تلميذه وخريجه وكان يشهد له بالتقدم في هذا الفن والإمامة فيه والتفرد بمعرفة ذلك في عصره. والترجيح لصحيح البخاري على صحيح مسلم المراد به ترجيح الجملة على الجملة لا كل فرد من أحاديث الآخر. ومن أمثلة ذلك كما في شرح النخبة للحافظ ابن حجر أن يكون الحديث عند مسلم وهو مشهور قاصر عن درجة التواتر لكن حفته قرينة صار بها يفيد العلم فإنه يقدم على الحديث الذي يخرجه البخاري إذا كان فردا مطلقا. أما ما نقل عن بعض العلماء من تقديم صحيح مسلم على صحيح البخاري فهو راجع إلى حسن السياق وجودة الوضع والترتيب لا إلى الأصحية كما قرر ذلك أهل هذا الشأن.
[1] ابن الصلاح. علوم الحديث. ص.26 ومحمد محمد أبو شهبة. في رحاب السنة الكتب الصحاح الستة. بدون اسم المطبعة ومكان الطبعة. 415 هـ1990 م. ص. 75. وذلك مكتوب في غلاف كتاب “الجامع الصحيح وهو الجامع المسند الصحيح المختصر من أمور رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وسننه وأيامه”. طبعه مطبعة دار طوق النجاة بيروت ط. 1، 1422 هـ.
[2] أبو الطيب السيد صديق حسن القنوجي. الحطة فى ذكر الصحاح الستة. تحقيق على حسن الحلبي. ص.294
[3]الحافظ ابن حجر. هدي الساري مقدمة فتح الباري. بتحقيق الشيخ عبدالقادر شيبة الحمد . ( الرياض: مكتبة الملك فهد الوطنية، الطبعة الأولى سنة 1421هـ – 2001م).
[4] كما هو مكتوب في غلاف كتاب “الجامع الصحيح وهو الجامع المسند الصحيح المختصر من أمور رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وسننه وأيامه”. طبعه مطبعة دار طوق النجاة بيروت ط. 1، 1422 هـ.
[5] أنطر الشارف حاتم بن عارف العوني. العنوان الصحيح للكتاب: تعريفه وأهميته وسائل معرفته وإحكامه أمثلة للأخطاء فيه. (دار عالم الفوائد : مكة المكرمة، 1419 هـ) ص. 50.
[6] أنظر الشارف حاتم بن عارف العوني. العنوان الصحيح للكتاب. ص. 50-51
[7] ابن حجر العسقلاني. هدي الساري مقدمة فتح الباري. بتحقيق الشيخ عبدالقادر شيبة الحمد. ص 11 و خليل إبراهيم ملاخطر. مكانة صحيحين. (القاهرة: المطبعة العربية الحديثة، الطبعة الأولى، 1402 هـ) ص. 34
[8]الهدي الساري بتحقيق الشيخ عبدالقادر شيبة الحمد ص. 8-9 الحطة ص. 311-312
[9]سير أعلام النبلاء12/403 ، هدي الساري 487 .
[10]هدي الساري بتحقيق الشيخ عبدالقادر شيبة الحمد. ص. 9
[11]هدي الساري بتحقيق ص. 1309
[12]مكانة الصحيحين. ص. 36 و 37-38
[13]هدي الساري 489 ، تغليق التعليق 5/418 .
[14]هدي الساري ص. 10
[15]سير أعلام النبلاء 12/433 .
[16]قال الحافظ: وهذا الكتاب ـ يعني صحيح البخاري ـ وإن كان أصل موضوعه إيراد الأحاديث الصحيحة، فإن أكثر العلماء فهموا من إيراده أقوال الصحابة والتابعين وفقهاء الأمصار: أن مقصوده أن يكون كتابه جامعا للرواية والدراية، ومن جملة الدراية شرح غريب الحديث، وجرت عادته أن الحديث إذا وردت فيه لفظة غريبة وقعت أو أصلها أو نظيره في القرآن، أن يشرح اللفظة القرآنية فيفيد تفسير القرآن وتفسير الحديث معا. الحافظ ابن حجر. هدي الساري مقدمة فتح الباري. بتحقيق الشيخ عبدالقادر شيبة الحمد . ( الرياض: مكتبة الملك فهد الوطنية، الطبعة الأولى سنة 1421هـ – 2001م). ج 6 ص. 419.
[17] ويستفاد من قولين سابقين أن البخاري لم يرد استيعاب جميع الصحيح عنده.
[18]أنظر ابن حجر في هدي الساري ج 1 ص 26-27
[19] أبو الطيب السيد صديق حسن القنوجي. الحطة فى ذكر الصحاح الستة. ص.298
[20]ابن حجر في هدي الساري ص. 22
[21]الحطة ص302-306
[22] أنظر هدي الساريج 2 ص 1258-1268 الحطة ص. 316 وفي رحاب السنة، ص. 95
[23]نفس المرجع
[24]أنطر في رحاب السنة . ص. 96-101
[25] مكث ابن حجر في تأليفه ربع قرون (817-842 هـ)
[26] أظر هذه القضية وإجابته في هدي الساري تحقيق الفاريابي. ص 923 إلخ.
[27] ابن حجر العسقلاني. النكت على كتاب ابن الصلاح. تحقيق : د. ربيع بن هادي عمير، (الرياض: دار الراية ، الطبعة الثالثة ، 1415 هـ/1994م) ج 1 ص. 381
[28] أبو الطيب السيد صديق حسن القنوجي. الحطة فى ذكر الصحاح الستة. ص. 295
[29] سعد الدين بن محمد الكبي. مقدمة النووي في علوم الحديث. المكتب الإسلامي : بيروت، ط. 1. 1417 هـ/1997 م) . ص. 12
[30] أنظر مكانة الصحيحينص. 88-90 وقد أوضح هذه الوجوه وغيرها الحافظ ابن حجر في مقدمة الفتح وفي شرحه لنخبة الفكر. و ابن حجر العسقلاني. النكت على كتاب ابن الصلاح. تحقيق : د. ربيع بن هادي عمير، (الرياض: دار الراية ، الطبعة الثالثة ، 1415 هـ/1994م) ج 1 ص 283-289





Selasa, 15 September 2015

Mutiara Hadits: Inilah 5 Penyebab Bencana Alam yang Menimpa Negeri Kita

Foto Ilustrasi by alamendah.org

MENDEKATI akhir zaman, semua jenis kemaksiatan sudah dilakukan oleh semua umat manusia. Namun, ada sebuah hadist yang menyatakan bahwa ada beberapa jenis maksiat akan disegerakan balasan dari maksiat itu. Apa saja?
Dari Ibnu Umar Ra. ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendatangi kami (pada suatu hari) kemudian beliau bersabda,’ “Wahai kaum Muhajirin, lima perkara kalau kamu telah diuji dengannya (kalau kamu telah mengerjakannya), maka tidak ada kebaikan lagi bagi kamu. Dan aku berlindung dengan Allah SUBHANAHU wa Ta’ala, semoga kamu tidak menemui zaman itu. Perkara-perkara itu ialah:
1. Tidak tampak perzinaan pada suatu kaum sehingga mereka berani berterus terang melakukannya, melainkan akan berjangkit di kalangan mereka wabah penyakit menular (Tha’un) dengan cepat, dan mereka akan ditimpa penyakit-penyakit yang belum pemah menimpa umat-umat yang telah lalu
2. Dan tiada mereka mengurangkan sukatan/ukuran dan timbangan, kecuali mereka akan diuji dengan kemarau panjang dan kesulitan mencari rezeki dan kezaliman dari kalangan pemimpin mereka
3. Dan tidak menahan mereka akan zakat harta benda kecuali ditahan untuk mereka air hujan dari langit. Jikalau tidak ada binatang (yang juga hidup di atas permukaan bumi ini) tentunya mereka tidak akan diberi hujan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
4. Dan tiada mereka menyalahi akan janji Allah dan Rasul-Nya, kecuali Allah akan menurunkan ke atas mereka musuh yang akan merampas sebagian dari apa yang ada di tangan mereka
5. Dan apabila pemimpin-pemimpin mereka tidak melaksanakan hukum Allah yang terkandung da lam Al-Qur’an dan tidak mau menjadikannya sebagai pilihan, maka (di waktu itu) Allah akan menjadikan bencana di kalangan mereka sendiri.” (HR. Ibnu Majah)
Keterangan Hadits di atas menerangkan bahwa :
1. Penyakit Tha’un (menular seperti kolera dan Aids) adalah disebabkan banyaknya terjadi perzinaan
2. Kesulitan mencari rezeki dan kezaliman pimpinan adalah disebabkan dari rakyat yang mengurangkan sukatan, ukuran dan timbangan
3. Kemarau panjang disebabkan tidak mengeluarkan zakat
4. Kekuasaan musuh mengambil sebagian dari apa yang dimiliki kaum Muslimin (seperti hilangnya Tanah Palestina dari tangan kaum Muslimin) disebabkan mereka mengkhianati janji -janjinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
5. Perang saudara yang berlaku di kalangan kaum Muslimin disebabkan mereka mengabaikan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai undang- undang di dalam kehidupan.

Keterangan Hadits di atas menerangkan bahwa :
1. Penyakit Tha’un (menular seperti kolera dan Aids) adalah disebabkan banyaknya terjadi perzinaan
2. Kesulitan mencari rezeki dan kezaliman pimpinan adalah disebabkan dari rakyat yang mengurangkan sukatan, ukuran dan timbangan
3. Kemarau panjang disebabkan tidak mengeluarkan zakat
4. Kekuasaan musuh mengambil sebagian dari apa yang dimiliki kaum Muslimin (seperti hilangnya Tanah Palestina dari tangan kaum Muslimin) disebabkan mereka mengkhianati janji -janjinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
5. Perang saudara yang berlaku di kalangan kaum Muslimin disebabkan mereka mengabaikan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai undang- undang di dalam kehidupan.

Sumber: islampos.com

Sabtu, 12 September 2015

Anak Belum Bisa Membaca, Jangan Berikan Label Bodoh


Ilustrasi. (ciadolazer.com.br)Anak sudah sekolah namun masih belum bisa membaca dan menulis bukanlah pertanda anak bodoh. Janganlah dulu terlalu cepat memberikan labelling terhadap anak, bisa jadi anak akan stres dengan label yang kita berikan. Hal tersebut berdampak buruk bagi masa depan anak.

Sekarang ini kebanyakan guru pada khususnya menilai peserta didik hanya dari hasil prestasi nilai belajar siswa, dan menggap siswa yang memiliki hasil belajar yang rendah adalah siswa yang bodoh. Padahal setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda, dimana sebagai guru harus lebih memahami kemampuan tersebut. Memberikan label bodoh ada siswa yang berkesulitan belajar bisa jadi memenggal harapan siswa dalam bermimpi.
Anak terlihat belum bisa membaca dan menulis biasanya terlihat saat duduk di sekolah dasar. Tak jarang guru maupun orang tua mengalami kebingungan. Mungkin anak tersebut mengalami kerusakan ada disfungsi minimal otak. Ini yang disebut disleksia. Pada tahun 1891 Jules Dejerine, seorang dokter ahli bedah dan patologiklinis, menyajikan data autopsi tentang individu yang mengalami luka penyempitan pembuluh otak dan belahan otak kiri, dan ia mengistilahkan ketidakmampuan / kesulitan membaca atau yang disebut disleksia. Anak yang mengalami disleksia mengalami short therm memory, apa yang diterimanya akan cepat dilupakan. Biasanya saat melihat tulisan yang dilihat, hurufnya menjadi berubah ubah seperti b menjadi d, u menjadi n, dan huruf yang memiliki kesamaan. Karena itu saat belajar anak menjadi bingung bukan karena malas belajar.
Kondisi tersebut membutuhkan cara pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak. Pembelajaran yang berbeda dengan anak pada umumnya. Namun dalam menentukan intervensi pada anak sebelumnya perlu dilihat dari hasil tes psikologinya.
Para ahli sudah banyak mengembangkan metode mengajar yang sesuai untuk anak disleksia seperti belajar menulis melalui pasir, metode glandoman yaitu dengan membuat kata yang diperbesar agar mudah dimengerti, atau bisa memakai metode multi sensori. Di sini anak akan diajarkan mengeja tidak hanya berdasarkan apa yang didengarnya lalu diucapkan kembali, tapi juga memanfaatkan kemampuan memori visual (penglihatan) serta taktil (sentuhan). Dalam prakteknya, mereka diminta menuliskan huruf-huruf di udara dan di lantai, membentuk huruf dengan lilin (plastisin), atau dengan menuliskannya besar-besar di lembaran kertas. Cara ini dilakukan untuk memungkinkan terjadinya asosiasi antara pendengaran, penglihatan dan sentuhan. Sehingga mempermudah otak bekerja dengan mengingat kembali huruf-huruf.
Jadi sekarang, kalau anak mengalami kesulitan dalam membaca tak perlu frustasi ataupun bingung. Karena sejatinya semua anak yang terlahir adalah anugerah yang menjadi amalan kita nanti. Saatnya membuka mindset kita, tanyakan dulu pada ahlinya jika mengalami hal tersebut dan membaca buku – buku referensi seputar metode pembelajaran bagi anak sesuai dengan kebutuhan.
Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya  
Sumber : dakwatuna

Anak Nakal atau Banyak Akal ?


Ilustrasi. (asswat.be)Begitu banyak orang tua, guru, bahkan masyarakat yang membicarakan anak yang dikategorikan sebagai anak nakal. Orang tua mulai mencemaskan masa depan anaknya tersebut, sebagai guru, keberadaan anak tersebut juga merupakan tantangan tersendiri bagi dirinya, dan sebagai masyarakat mulai mencemaskan terhadap kenakalan mereka terutama berkenaan dengan akibat perilaku negatif yang ditimbulkan.

Anak dilahirkan seperti kertas putih, tanpa noda dan dosa. Orang tua dan lingkungannya lah yang menentukan seorang anak menjadi apa nantinya. Seperti hadist Rasulullah SAW berikut!
“Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seorang anak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah. Lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nashrani, dan Majusi, sebagaimana dilahirkannya binatang ternak dengan sempurna, apakah padanya terdapat telinga yang terpotong atau kecacatan lainnya?. Kemudian Abu Hurairah membaca, Jika engkau mau hendaklah baca, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus”
Sekalipun ketika anak baru lahir dalam keadaan fitrah, namun ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan anak kedepannya, di antaranya yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Dari hari ke hari, seseorang anak berinteraksi dengan lingkungannya, baik orang tua, keluarga maupun masyarakat. Nilai-nilai hakiki, sentuhan kasih sayang, dan semua perlakuan menyenangkan akan membentuk kepribadiannya menjadi positif, namun apabila dari kecil ia telah mendapatkan perlakukaan yang tidak baik, maka kemungkinan besar anak tersebut akan tumbuh menjadi pribadi yang kurang baik pula.
Menurut undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak, pasal 1 disebutkan bahwa anak nakal adalah: a) anak yang melakukan tindak pidana; b) melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Teringat kisah seorang sahabat, ketika anaknya bermain di dapur dan tanpa sengaja memecahkan gelas kaca. Gelaspun hancur tak berbentuk lagi. Sontak sang ibu berteriak kuat sambil mengucapkan kata nakal yang membuat sang anak ketakutan. Hanya karena gelas saja ibunya rela menyakiti hati sang anak dan ditambah lagi dengan pukulan yang mendarat di kakinya. Sang anak hanya mampu berdiri di pojok ruangan dengan wajah memerah dan ketakutan. Hanya karena sebuah gelas seharga Rp. 10.000 sang ibu rela menyakiti hati sang anak yang mungkin saja dapat ia ingat sampai ia dewasa.
Pertanyaannya sekarang, nakalkah anak tersebut? Apakah pantas seorang anak yang memecahkan gelas tanpa sengaja atau sekadar melompat-lompat di kursi lantas kita sebut sebagai anak nakal?
Menilik kembali pengertian anak nakal menurut undang-undang, apakah anak yang melompat-lompat dikursi dan memecahkan gelas termasuk tindakan pidana? Atau malah termasuk perbuatan yang dilarang? Jika tidak, maka janganlah kita cepat sekali menyimpulkan seorang anak yang bersikap di luar keinginan kita sebagai anak yang nakal.
Anak diciptakan dengan segudang potensi dan keunikan masing-masing. Namun, sadarkah kita, sebagai orang tua atau guru,  ternyata kita punya andil dalam mematikan atau membonsai potensi anak yang merupakan anugerah terbesar bagi dirinya. Kita terlalu cepat memberikan label kepada mereka dengan sebutan anak nakal.
Layakkah tingkah dan polah mereka kita beri predikat sebagai anak nakal? Ataukah ….
  1. Mereka sebenarnya anak yang kreatif dan memiliki kecerdasan yang luar biasa namun kreatifitasnya tak sejalan dengan pemikiran dan keinginan kita.
Seorang anak yang ingin bermain di luar rumah dan sang ibu memaksanya untuk tidur. Akhirnya pintu dikunci dan tak lupa menyelot kunci pintu yang ditaruh paling atas pintu. Lalu, kuncinya digantung di atas tembok yang tak dapat terjangkau oleh sang anak. Apa yang terjadi? Sang anak mengangkat kursi dan naik di atasnya, lalu mengambil kunci yang digantung di tembok. Menyadari kunci sudah ada di tangannya sang ibu hanya memperhatikan saja. Dalam hati, mana bisa anak sekecil itu bisa membuka pintu. Anak pun memasukkan kunci ke lubangnya dan mencoba beberapa kali memutar-mutar kunci. “Klik….” bunyi kunci terbuka.
Anak tersebut memiliki kecerdasan yang luar biasa, ia mampu memikirkan cara untuk mengambil kunci yang tergantung ditembok dan membuka pintu. Tapi masalahnya adalah kecerdasan sang anak tidak sejalan dengan keinginan sang ibu yang menginginkan anaknya untuk tidur.
  1. Anak yang memiliki energi “ekstra” namun kita tidak dapat menyalurkannya dengan baik.
Masih ingatkah kita dengan sosok si jenius Albert Einstein? Anak yang bermasalah dari sekolah dasar. Selama sekolah, ia tidak mau mengikuti pelajaran selain matematika dan fisika. saat pelajaran sastra dan yang lainnya, ia memilih keluar dari kelas dan pergi ke danau untuk bereksplorasi dengan alam. Saat di sekolah, Einstein dikenal sebagai anak nakal. Alhamdulillah ia memiliki orang tua yang sangat mendukung keinginannya yang kuat untuk terus belajar matematika dan fisika dan memilih untuk tidak mempelajari ilmu lainnya.
Orang tua dan guru memiliki tanggung jawab penuh untuk menyalurkan energi ekstra sang anak pada posisi yang tepat agar sang anak mampu untuk terus mengembangkan kemampuannya.
  1. Anak yang memiliki ide yang ” tidak biasa” namun kita menganggapnya sebagai anak yang tidak bisa diatur.
Proses belajar mengajar dikelas sering sekali terhambat karena adanya beberapa anak yang tidak mampu mengikuti prosedur yang diharapkan guru. Contohnya saja ketika melakukan praktikum. Sering sekali anak tidak mengikuti arahan dari guru dan melakukan kreasi sendiri. Kita sering sekali menganggap anak nakal hanya karena ia tidak bisa mengikuti arahan kita, padahal di luar dari itu, sang anak sedang mencoba ide kreatifnya yang muncul secara tiba-tiba dan mungkin tidak mendapatkan pengakuan di rumahnya. Seharusnya kita mampu melihat dan membimbing apa yang dikerjakannya dan memberikan apresiasi atas usahanya tersebut.
Kenakalan yang dilakukan anak adakalanya sebagai bentuk aktivitas, ekspresi, dan elaborasi diri dalam proses perubahan menuju kedewasaan. Hal ini dipengaruhi oleh rasa ingin tahu, ingin mencoba, dan ingin bisa seorang anak terhadap suatu persoalan. Bahkan, kenakalan seorang anak bisa saja dipandang sebagai bentuk kreatifitas dini.
Apapun yang dilakukan seorang anak yang dinyatakan terlarang bagi anak dan merugikan bagi orang lain, sesungguhnya posisi anak tetap sebagai korban. Anak adalah korban kurangnya perhatian dan bimbingan orang tua, korban pendidikan yang belum memadai, korban perkembangan teknologi dan media massa dengan aturan yang tidak berpihak kepada kepentingan tumbuh kembang moralitas dan mentalitas anak. Karena apa yang dilakukan anak yang dipandang sebagai bentuk kenakalan itu, juga merupakan bagian dari kewajiban dan tanggung jawab perlindungan orang tua, keluarga, masyarakat, bahkan negara dan pemerintah.
Di sinilah peran besar pendidikan, dimana anak harus didik diarahkan, dibimbing agar kepribadiannya yang negatif hilang, sehingga kepribadian yang positif dapat berkembang sehingga menjadi manusia yang bermanfaat seeperti hadist Rasulullah “sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain”
Sumber: Deasy Lyna Tsuraya dakwatuna

Ayah Ibuku Yang Semakin Tua




Ada seorang manajer sukses, ketika kemudian adik-adiknya sudah berumah tangga dan akhirnya meninggalkan rumah ayah ibunya. Sang ayah dan ibu diajak tinggal bersamanya. Tapi karena pekerjaan di kantor begitu padat dan begitu sibuk, maka meskipun tinggal serumah jarang sekali dia punya waktu untuk berbincang-bincang dengan ayah ibunya.
Sore hari itu, dia pulang dari kantor dan dia melihat ayah ibunya sudah berdandan rapi. Sang ayah dan Sang ibu tampak gembira dan menunggunya di depan rumah.
Sang ibu berkata “Anakku. jangan parkir dulu ya nak… antar ibu sebentar, ya. Ibu mau ke toko baju di ujung jalan sana. Ibu mau beli baju untuk anakmu. Besok kan dia ulang tahun. Ibu mau membelikan baju untuk cucu ibu. Antar ibu sebentar ya, Ayahmu juga mau membelikan mainan untuk cucunya sebagai hadiah ulang tahunnya.
“Aduuuh. Bu… Aku capek sekali! Dan masih ada kerjaan yang harus aku lakukan. Ibu, aku panggilkan taksi aja ya? Saya panggilkan ya bu,” kata sang anak.
“Nak…. ayolah…. antar ibu sebentar ya. Sudah lama ayah dan ibu nggak berdua dengan kamu. Temani ibu sebentar aja ya,” Ibunya tetap meminta penuh harap.
Anaknya menjawab, “Ya udah, aku temani ibu dan ayah belanja, tapi jangan lama-lama ya, aku masih ada pekerjaan yang harus aku kerjakan!
Kemudian anaknya ini mengantarkan ayah dan ibunya ke toko baju itu. Sepanjang jalan ia cemberut dan diam saja walaupun kadang ayahnya atau ibunya berusaha mengajaknya bicara. Dan sesampainya di sana ia berkata lagi. “Bu, aku tunggu di parkiran aja ya! Ayah dan ibu bisa masuk sendirikan? Uang belanja yang aku beri kemarin masih ada kan Bu? Belum dipakai kan? Ibu punya uang untuk beli bajunya?”
Sang Ibu itu mengangguk. Sang Ayah mencoba menggenggam tangan istrinya dan mulai masuk ke pusat perbelanjaan itu. Di tempat parkir itu, dia memejamkan matanya. Mencoba beristirahat sebentar. Ia ingat, nanti dia masih harus mengerjakan pekerjaan kantornya lagi.
Dua puluh menit kemudian, Ayah dan ibunya tidak juga kunjung keluar dari pusat perbelanjaan itu. Dia merasa tidak sabar. Dia tinggalkan parkiran dan dia masuk… Dari ujung pintu, dia mencari Ayah dan ibunya. Ayah Ibu ada di mana sih? Oh… ibunya ada di ujung sana. Di bagian anak-anak sedang memilih baju.
Tangan ibunya terulur mengambil sebuah baju. Dan tangan itu gemetaran. Meletakkan baju itu, mengambil baju yang lain. Dan tangan itu gemetaran. Matanya tertuju pada tangan yang gemetaran itu. Tangan yang sudah penuh keriput. Kemudian pandangannya beralih ke wajah ibunya. Kemudian dia melihat di sebelah ibunya di pusat mainan anak-anak, Sang ayah juga sedang memilih mainan kesukaan cucunya, dengan tangan yang gemetaran karena sudah tua, Sang anak kembali memandang wajah ayahnya yang sudah tua berkeriput.
Meneteslah Air matanya, Dengan suara gemetaran dia mengadu kepada Tuhan
“Ya Tuhan, ayah ibu sudah semakin tua. Mukanya penuh dengan keriput. Tampak sekali lelah di wajahnya, dan sangat letih. Ayah ibu mungkin akan segera meninggalkan aku dan anak istriku tetapi mengapa aku tidak pernah menyempatkan waktu untuk menelponnya ketika bekerja, mengajaknya bicara dan membawanya jalan-jalan untuk sekadar makan malam menyenangkan hati mereka, Ohh…Tuhan, besarnya dosaku, ampunilah aku. Jangan Kau ambil dulu mereka sebelum aku bisa memberikan yang terbaik untuknya.” Di sudut pusat perbelanjaan itu, Sang anak terduduk menangis. Tertatih dia berjalan mendatangi Sang ayah dan sang ibu, memeluknya sangat erat, erat sekali
“Ayah, ibu, maafkan anakmu ya, anakmu lupa. Maafkan anakmu, anakmu lupa bahwa Ayah perlu diajak ngomong. Lupa bahwa ibu perlu ditemani. Anakmu janji, mulai sekarang, mau ke manapun ayah dan ibu pergi, aku akan antar ibu. Secapek apapun aku pulang kantor, aku akan ajak ayah ibu ngobrol. Maafkan anakmu”
Semoga pembaca bisa berbuat yang terbaik untuk orang tua tatkala keduanya masih ada. Setelah Anda membaca ini, menangislah dan telponlah ayah dan ibu Anda yang mungkin selama ini menantikan telpon Anda. (adi/dakwatuna)

Rabu, 09 September 2015

SEKALI LAGI: “WASPADA DALAM MERIWAYATKAN HADIS NABI”

SHARING PERTANYAAN
Bismillah,, afwan, sy baru bergabung di grup ini,, sy mau nanyak sy ikut riohis di sklh dn banyak temen2 sy yg sering mengirim kata2 motivasi dan hadis ke saya tampa mereka tau apakah sanad hadis itu sohih atau doif dll,, bagaimanan hukumnya itu,.. (wire dane)
KITAB Mukhtarul hadis-baru
PENJELASAN:
(1) Setiap kita hendaklah memperhatikan ayat  36 Surat Al-Isra’:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak punya ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, dan penglihatan serta hati semuanya akan ditanya (diminta pertanggungjawabannya)”
Penulis Kitab Tafsir Fathul bayan fi Maqoshid al-Quran menjelaskan makna Ayat tsb (7/290)
ومعنى الآية النهي عن أن يقول الإنسان ما لا يعلمه أو يعمل بما لا علم له.
Ayat di atas bermakna larangan untuk manusia dari mengatakan sesuatu atau mengamalkan sesuatu  yang tidak dia punya ilmu tentangnya.
(2) Pengecekan atau menverifikasi status validitas suatu hadis harus dilakukan sebelum menisbatkan hadis itu kepada Rasulullah. Dalilnya adalah:
اتَّقُوا الحَدِيثَ عَنِّي إِلَّا مَا عَلِمْتُمْ، فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Takutlah meriwayatkan hadis dariku kecuali yang kalian telah ketahui (kesahihannya). Barangsiapa yang berdusta secara sengaja atas namaku, maka hendaknya dia menyiapkan tempatnya di dalam neraka”. (HR. Ibnu Abi Shaibah dengan sanad yang sahih).
(3) Teladan dari para Sahabat Rasulullah SAW.
DR. Nuruddin ‘Itr dlm Kitabnya Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis (hal. 51 dst) menjelaskan bagaimana ketatnya dan tegasnya para Sahabat Rasulullah dlm menjaga otentitas Hadis Rasulullah SAW. Mereka amat hati-hati (tatsabbut) dalam menerima periwayatan hadis dan hati-hati pula dalam menyampaikan hadis kepada orang lain. Karena khawatir keliru mereka pun melakukan “taqlil al-riwayah” menyedikitkan aktifitas periwayatan hadis. Mereka sadar akan peringatan Rasulullah SAW:
«كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ»
“Cukuplah seseorang disebut berdusta, bila dia menyampaikan apa saja yang dia dengar” (HR. Muslim no.5 , Mushonnaf Ibn Abi Syaibah no. 25617). Hadis tersebut disebutkan oleh Imam Muslim dalam konteks larangan menyampaikan hadis apa saja yang pernah didengar  (بَابُ النَّهْيِ عَنِ الْحَدِيثِ بِكُلِّ مَا سَمِعَ)
(4)  Peringatan Rasulullah SAW yg mengingatkan tentang munculnya fenomena akhir zaman dlm masalah yang ditanyakan di atas:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ، يَأْتُونَكُمْ مِنَ الْأَحَادِيثِ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ، وَلَا آبَاؤُكُمْ، فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ، لَا يُضِلُّونَكُمْ، وَلَا يَفْتِنُونَكُمْ»
Akan muncul di akhir zaman para Dajjal, Pembohong yang mendatangkan kepada kalian hadis-hadis yang kalian sendiri tidak pernah mendengarnya, demikian pula bapak-bapak kalian. Jauhkanlah diri kalian dari mereka dan upayakan agar mereka menjauhi kalian. Jangan sampai mereka menyesatkan kalian dan menggelincirkan kalian ke dalam fitnah”
(HR. Muslim no. 7 Sahih Ibnu Hibban no.6766, dll). Para ulama hadis seperti Al-Munawy dan Mulla’ Ali al-Qary menjelaskan mereka yang dimaksud menyampaikan hadis2 dusta dan melakukan inovasi hukum yang batil dan keyakinan-keyakinan yang rusak (أَيْ: يَتَحَدَّثُونَ بِالْأَحَادِيثِ الْكَاذِبَةِ وَيَبْتَدِعُونَ أَحْكَامًا بَاطِلَةً وَاعْتِقَادَاتٍ فَاسِدَة)
Hadis tersebut menunjukkan pentingnya bersikap hati2 (ikhtiyat) dlm menerima dan menyampaikan hadis Rasulullah SAW.
Wallahu A’lam bis Showab..

Forum tanya jawab ini diasuh oleh M. Syukrillah, M.Th.I. (Kepala Sekolah SDIT Nurul Islam Klakah Lumajang)
Silahkan ajukan pertanyaan anda ke 082329322327 / 085859923904
fb: Sdit Fullday Nurul Islam
e-mail: klakahsdit@gmail.com

Hadits Tentang Larangan Shalat dengan Memejamkan Mata

 Assalamu ‘alaikum ustad, bagaimana dengan hadis ini?
Dari Ibnu Abbas Rasulullah saw. pernah bersabda, “Apabila salah seorang diantara kalian berdiri untuk mengerjakan shalat maka janganlah dia memejamkan kedua matanya.” (H.R Ath-Thabrani)
(Bukran Bima-27 Agustus pukul 10:50)
Penjelasan:
Wa’alaikum salam wr.wb.
Iya, benar hadis itu ada dlm riwayat Ath-Thabrani baik dlm Mu’jam Al-Shaghir (hadis no. 24), Mu’jam al-Awsath (hadis no. 2218), maupun di Mu’jam al-Kabir (hadis no. 10956). Teks (matan) hadis yg kita bahas bunyinya adalah : إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ فَلَا يُغْمِضْ عَيْنَيْهِ
Hadis tersebbut adalah hadis yg dho’if karena dlm sanadnya terdapat perawi bernama Laits bin Abi Salim yang berstatus Mudallis, dan melakukan ‘an’anah dlm sanad hadis di atas
(sbgmn keterangan Imam al-Al-Haitsamy dlm Majmu’ al-Zawaid 2/83, jg di-dho’if-kan al-Albany dlm Kitab Dho’if al-Jami’ al-Shaghir no. 617)
Namun demikian, jumhur (mayoritas) para ulama fiqih me-MAKRUH-kan seseorang yg sedang sholat dgn memejamkan matanya, sebagaimana pendapat ulama madzhab Hanafi, Maliki, Hanbali dan sebagaian Ulama Syafi’iyah karena dlm sunnahnya Rasulullah SAW mengajarkan untuk melihat tempat sujud.. Akan tetapi, pengecualian (tdk makruh) APABILA memejamkan mata krn melihhat adanya sesuatu yang menggangu kekhusu’an, atau utk kembali menghadirkan hati (hudhul qalb) dan konsentrasi..
(Lihat al-Maushu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 27/104-105, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu 2/964 karya Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaily)

Forum tanya jawab ini diasuh oleh M. Syukrillah, M.Th.I. (Kepala Sekolah SDIT Nurul Islam Klakah Lumajang)
Silahkan ajukan pertanyaan anda ke 082329322327/085859923904
fb: Sdit Fullday Nurul Islam
e-mail: klakahsdit@gmail.com