Anak adalah Peniru Ulung. Sikap mereka di sekolah, di lingkungan dan
masyarakat adalah cerminan bagaimana kehidupan mereka di rumah, yang
tentu tidak terlepas dari didikan orang tuanya. Rumah merupakan
madrasah
(sekolah) pertama bagi tumbuh kembang anak dan orang tua adalah guru
utama bagi tahun-tahun pertama kehidupan mereka. Disebabkan karena usia
dini adalah usia meniru, maka orang tua adalah �model� bagi anaknya.
Oleh karena itu, keluarga menjadi ujung tombak dalam perkembangan
sosio-emosinya.
 |
Anak lebih cenderung cepat menguasai teknologi dibandingkan orang dewasa |
Setiap orang tua, memiiki gaya dan cara mendidik
yang berbeda-beda. Dan tentunya gaya-gaya tersebut akan berpengaruh
dalam perkembangan anak. Hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan
kasih sayang kepada mereka adalah tidak berlebihan dan tidak pula
kurang. Berikan pelayanan dan kasih sayang secara proporsional. Ada
masanya kapan seorang orang tua harus bersikap tegas dan kapan bersikap
lemah lembut kepada anak. Apapun masalahnya, usahakan semampunya untuk
tidak memarahi anak melampaui batas kewajaran; seperti mengumpat,
menghardik dengan celaan terkutuk, apalagi sampai berlaku kasar, dan
memukul anak hingga meninggalkan luka lebam di tubuhnya.
Marah
bukanlah satu-satunya solusi dalam mendidik anak ketika bersalah. Selain
menimbulkan efek negatif bagi perkembangan sosio-emosional dan mental
anak, marah juga merupakan sifat yang sangat dilarang oleh teladan ummat
akhir zaman, Rasululullah s.a.w dalam sebuah hadits, beliau bersabda,
“Laa taghdlob walakal jannah” yang
artinya �Jangan marah, bagimu Surga� (H.R. Ath Thabrani). Pendidikan
keluarga yang baik adalah: pendidikan yang memberikan dorongan kuat
kepada anaknya untuk mendapatkan pendidikan agama. Oleh karena itu ada
beberapa aspek pendidikan yang sangat penting untuk diberikan dan
diperhatikan orang tua, diantaranya:
Pendidikan Akidah
Pendidikan
islam dalam keluarga harus memperhatikan pendidikan akidah islamiyah,
dimana akidah itu merupakan inti dari dasar keimanan seseorang yang
harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Sejalan dengan firman Allah
yang artinya:
�Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada
anaknya di waktu ia memberi pelajaran padanya: �Hai anakku janganlah
kamu mempersekutukan Alloh benar-benar merupakan kedlaliman yang
besar�,� (Q.S. Luqman:13).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa akidah harus ditanamkan kepada anak yang merupakan dasar pedoman hidup seorang muslim.
Pendidikan Ibadah
Aspek pendidikan ibadah ini khususnya pendidikan shalat disebutkan dalam firman Allah yang artinya:
��Hai
anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia untuk mengerjakan yang
baik dan cegahlah mereka dari perbuatan munkar dan bersabarlah terhadap
apa yang menimpa kamu, sesungguhnya hal yang demikian itu termasuk
diwajibkan oleh Alloh,��(QS. Luqman:17).
Pendidikan dan
pengajaran Al Qur�an serta pokok-pokok ajaran islam yang lain telah
disebutkan dalam Hadis yang artinya: ��Sebaik-baik dari kamu sekalian
adalah orang yang belajar al-Qur�an dan kemudian mengajarkannya,�� (HR.
Bukhari dan Muslim).
Penanaman pendidikan ini harus disertai
contoh konkret yang masuk pemikiran anak, sehingga penghayatan mereka
didasari dengan kesadaran rasional. Dengan demikian anak sedini mungkin
sudah harus diajarkan mengenai baca dan tulis kelak menjadi generasi
Qur�ani yang tangguh dalam menghadapi zaman.
Pendidikan Akhlakul Karimah
Orang
tua mempunyai kewajiban untuk menanamkan akhlakul karimah pada
anak-anaknya, dan pendidikan akhlakul karimah sangat penting untuk
diberikan oleh orang tua kepada anak-anknya dalam keluarga, sebagai
firman Alloh yang artinya.
�Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakanlah suaramu dan sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara himar,�( QS.Luqman:19 )
Dari
ayat ini telah menunjukkan dan menjelaskan bahwa tekanan pendidikan
keluarga dalam islam adalah pendidikan akhlak, dengan jalan melatih anak
membiasakan hal-hal yang baik, menghormati orang tua, bertingkah laku
sopan baik dalam berperilaku keseharian maupun dalam bertutur kata.
Aqidah
yang lurus, Ibadah yang benar dan pekerti yang luhur, adalah komponen
dasar membangun generasi penuh berkah, generasi madaniy yang kelak
dewasanya akan tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, teguh dalam
kebenaran dan tak gentar dalam menentang kebathilan. Umar bin Khatab,
seorang bijak yang hidup di abad ke 7 masehi, memberikan pernyataan yang
sangat terkenal:
�Didiklah anak-anakmu sesuai zamannya, karena mereka akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu.� Suatu
pernyataan yang seolah sangat sederhana, tetapi memiliki aplikasi yang
cukup rumit di dalam pelaksanaannya. Jangankan kita membandingkan dengan
kondisi sekitar 14 abad yang lampau, dengan 40-50 tahun yang lampau
saja dengan kondisi di Indonesia saat ini, tantangan di dalam
membesarkan dan mendidik anak-anak sangatlah berbeda.
Ali Bin Abi
Thalib r.a khalifah ke 4 setelah zaman kenabian, memberikan nasehat
dalam pendidikan anak berdasarkan tahap usia perkembangannya :
Anak di usia 7 tahun pertama.
Tujuh tahun pertama merupakan fase
golden age
(usia emas) setiap anak. Dimana pada usia ini, satu-satunya otak yang
baru berkembang sempurna adalah �otak reptil� yang juga dimiliki oleh
hewan. Karakterisktik dari otak reptile ini adalah kemampuan pertahanan
diri anak dari ransangan. Hasil sebuah penelitian mengatakan bahwa
sekitar 50% kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi pada usia 4
tahun, 80% telah terjadi pada usia 8 tahun, dan mencapai titik
tertinggi pada usia 18 tahun (Direktorat PAUD, 2004).
Pada usia
emas ini adalah usia dimana anak hiperaktif dengan tingkat emosional
yang sangat tinggi dan tidak terkendali. Kemampuan meniru dan menyerap
setiap yang disaksikan anak terjadi pada usia ini. Maka dari itu,
hindari pertengkaran orang tua di hadapan anak usia emas ini dan hal-hal
negatif lainnya seperti; berbohong, mencela, mengumpat, berbuat
kekerasan, berkata-kata kotor, dsb. Karena akan berdampak buruk pada
pertumbuhan emosional anak, yaitu tumbuh dengan penuh kecurigaan.
Anak di usia 7 tahun kedua.
Khalifah
Ali bin Abi Thalib mengingatkan, anak pada usia ini hendaklah di didik
layaknya tawanan perang; penjagaan penuh, dengan segala ketegasan dan
komitmen yang tinggi dalam menerapkan segala peraturan. Rasululllah
s.a.w juga menganjurkan kepada kita dalam sabdanya, untuk memerintahkan
anak untuk mengerjakan shalat yang apabila pada usia 10 tahun masih
meninggalkan shalat, hendaklah dipukul (dengan pukulan yang mendidik)
agar menimbukan efek jera pada mereka.
Pada usia ini, anak mulai
dapat membedakan mana yang baik dan buruk. Dianjurkan kepada orang tua
untuk membiasakan anak dengan kegiatan-kegiatan kemandirian, memberi
hukuman jika bersalah dan memberi
reward jika melakukan hal-hal yang
prestatif.
Hindari mendidik anak dengan menjanjikan reward apabila mau melakukan
hal-hal yang kita perintahkan. Sebab, hal demikian hanya akan mendidik
anak menjadi pribadi yang pamrih, hanya akan mau melakukan suatu
perbuatan jika ada imbalan.
Hal yang perlu ditonjolkan pada usia 7
tahun kedua ini adalah penyadaran penuh kepada anak bahwa Allah Maha
Melihat dan Maha Memberi Balasan yang berlipat-lipat atas setiap
baik-buruknya perbuatan kita.
Anak di usia 7 tahun ketiga.
Menjadikan
anak layaknya sahabat, merupakan salah satu nasehat Ali bin Abi Thalib
terhadap anak diusia 7 tahun ketiga ini. Sebab diusia 15-21 tahun ini
adalah usia dimana anak masih dalam masa pencarian jati dirinya,
labilitas
tingkat tinggi, maka yang paling dan sangat dibutuhkan oleh mereka
adalah orang-orang yang dapat memahami perasaan mereka, yang dapat
memberikan solusi setiap permasalahan yang sedang mereka alami.
Pada
usia remaja menuju dewasa ini anak-anak cenderung mencari �kenyamanan�
itu pada lawan jenis. Kerap kali, posisi orang tua menjadi tergantikan
karena kehadiran �orang ketiga� dalam kehidupan anak-anak. Meski raganya
bersama orang tua, tetapi hati dan fikirannya sudah tidak lagi berada
dalam kebersamaan didalam keluarga.
Usia remaja adalah usia yang
membuat anak-anak terobsesi mengikuti setiap fantasi yang ada didalam
fikiran mereka. Terutama bagi remaja diera digital, tontonan acapkali
menjadi tuntunan; meniru dan mecomplak setiap tokoh yang diidolakan.
Mereka mulai silau dengan fana dan fatamorgana. Kebahagiaan dan
kesenangan selalu menjadi keniscayaan. Bahkan tidak sedikit remaja
kekinian
lupa dengan cita-cita yang dulu mereka gadang-gadangkan dimasa
kanak-kanaknya. Terlebih diera digital ini, kejahatan media terhadap
anak semakin tak kenal ampun. Fakta membuktikan, semua teori
perkembangan seks pada anak, tumbang seiring perkembangan teknologi.
Maka,
sudah seharusnya para orang tua menjadi sahabat bagi anak-anaknya
diusia 7 tahun ketiga ini. Jangan biarkan masa remaja anak-anak kita
rusak diperbudak
modernisasi dan budaya kebarat-baratan. Remaja
yang rusak adalah kegagalan penanaman aqidah dan akhlakul karimah
diusia emas dan masa tawanan perang. Tegas tidak harus keras. Tetapi
tegas, harus tegaan. Maksimalkan pendidikan anak di setiap fase
perkembangannya, sebelum mereka tumbuh menjadi pribadi yang gagal dan
kehilangan masa depannya.
Pakar psikologi anak mengamati, realitas
anak dan remaja di era digital ini cenderung mudah bosan, stress
berkepanjangan, selalu merasa kesepian meski di keramaian, takut
dimarahi dan mudah lelah. Semua jenis layar, membuat otak dan mata anak
menjadi fokus. Bukan fokus aktif, melainkan fokus pasif. Sehingga, anak
tidak lagi
aware dengan lingkungan. Maka dari itu, perlu
rasanya digalakkan durasi sehat digital; 15-20 menit bagi anak usia 3-5
tahun, 60 menit bagi anak rentang usia 6-7 tahun, dan 2 jam saja bagi
anak usia diatas 7 tahun, tentu tidak dengan memberikan keseluruhan
waktu itu untuk mereka menikmati
gadget-nya, melainkan diselingi dengan aktfitas produktif mereka.
Beberapa
solusi yang saya rasa dapat sedikit membantu permasalahan orang tua
dalam mendidik anak diera digital ini terutama pendidikan di dalam
keluarga yaitu; 1. Menjalankan fungsi dan tatanan keluarga dengan baik
(yaitu kerjasama antara Ayah dan Bunda), 2. Membuat kesepakatan dengan
anak, me-
manage aktivitas harian mereka mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi, tanpa mengekang hak bermainnya termasuk menikmati suguhan
gadget mereka. Hal yang terpenting adalah, hindari menggunakan
gadget
saat bersama anak, karena hal itu akan membuat anak meniru prilaku
buruk orang tua tersebut; 3. Ciptakan kebersamaan dengan anak sebaik
mungkin (tanpa gangguan gadget), untuk melatih anak agar mereka selalu
terbuka pada orang tua dan tidak mencari tempat
curhat lain
selain orang tuanya; 4. Usahakan 30 menit dalam 24 jam yang kita punya,
untuk mengevaluasi aktivitas hariannya, berdialog mendengarkan curahan
hati dan perasaan mereka. Meski tidak dapat memberi solusi, setidaknya
jadilah orang tua yang bersahabat, yang selalu membuat anak merasa
nyaman dan terbuka dengan kita. (
sumber redaksi/hdn)