Senin, 18 Januari 2016

Kala sang pendidik dipidanakan

guru

Beredar kabar bahwa di Majalengka, Jawa Barat, guru SD nyaris masuk jeruji besi saat mendisiplinkan siswanya yang berambut gondrong. Di Banyuwangi, terjadi kejadian serupa. Seorang guru SD diadili karena menindak siswanya yang memukuli 4 teman kelasnya. Orang tua siswa tak terima anaknya diperlakukan demikian oleh sang guru hingga berujung pada ranah hukum. Padahal sebagai pendidik, sang guru memiliki tanggung jawab moral untuk memberi pelajaran etika dan disiplin kepada anak didiknya, termasuk mencukur rambut siswanya yang gondrong.

Pihak sekolah juga sudah berusaha mempertemukan masalah ini lewat jalur mediasi yang difasilitasi pihak Sekolah, Kecamatan dan Komite Sekolah. Dalam pertemuan itu, guru yang bersangkutan telah meminta maaf kepada keluarga siswa tersebut tapi keluarga siswa memilih mengambil langkah hukum. Walaupun pada akhirnya pengadilan membebaskan sang guru dengan berbagai pertimbangan. Dakwaan jaksa kepada Sang guru di Majalengka, mengenakan UU Perlindungan Anak ditolak mentah-mentah oleh pengadilan negeri, banding dan kasasi. Sang guru hanya dikenakan pasal sabu jagat KUHP yaitu perbuatan tidak menyenangkan. Itu pun ditolak Mahkamah Agung (MA) dan sang guru pun bebas murni. Sebagai guru memiliki fungsi pendidikan dan edukasi, salah satunya memberikan sanksi kepada siswanya.

Bagaimana dengan guru di Banyuwangi? Jaksa mendakwa dengan UU Perlindungan Anak, terutama Pasal 80 ayat 1 UU Perlindungan Anak. Dengan bukti-bukti yang ada, Jaksa lalu menuntut guru tersebut untuk dipenjara selama 5 bulan. Tapi majelis hakim berkata lain, menurutnya sanksi pemukulan tidak mengganggu kegiatan belajar mengajar. Pemberian sanksi berupa pemukulan pada betis kanan dan kiri bagian belakang dengan menggunakan penggaris kayu masih sesuai dengan kaedah pendidikan, sebagaimana dikutip dari website Mahkamah Agung (MA), Ahad (3/1/2016).

Selain itu, apa yang dilakukan guru tersebut masih dalam koridor Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, khususnya Pasal 39. Perbuatan yang dilakukan bukan merupakan tindak pidana karena sifat melawan hukumnya hilang. Walaupun dibenarkan secara hukum (melaporkan ke ranah pidana), tetapi tidak bijaksana karena tidak memberikan contoh yang baik kepada siswa terkait. (news.detik.com, 03/01/2016).

Lalu bagaimana dengan sang orangtua yang melaporkan guru? Orangtua murid di Majalengka awalnya juga dihukum percobaan di tingkat pertama. Tapi oleh Pengadilan Tinggi (PT) Bandung, majelis hakim mencoret hukuman percobaan dan menjatuhkan pidana penjara selama tiga bulan. Hukuman kepada orangtua siswa tersebut lalu dikuatkan di tingkat kasasi.

Sungguh ironis kejadian ini saling mempidanakan satu sama lain. Bagaimana jika sangkaan polisi dan dakwaan jaksa itu dikabulkan? Bisa jadi, seluruh guru di negeri ini akan masuk jeruji besi karena melakukan perbuatan tidak menyenangkan siswa.

Ilmu, guru, dan murid adalah tiga hal yang saling berkaitan. Ketiganya merupakan rangkaian yang tak terpisahkan. Ada guru jika ada murid, begitu juga sebaliknya. Kejadian antara guru dan orangtua ini bisa menghantarkan peran guru untuk mendidik tidak lagi dipercaya penuh oleh orang tua, termasuk ketika memberikan sanksi yang tujuannya untuk mendidik. Di sisi lain UU Perlindungan anak justru hanya memfasilitasi kebebasan bagi anak. Terbukti UU Perlindungan anak yang merupakan adopsi konvensi Hak Anak tidak melindungi, malah menjerumuskan kepada kebebasan.

Jika kita mencoba merenung dan berpikir, siapakah orang yang paling berjasa dalam hidup kita setelah kedua orang tua kita? Jawabannya adalah guru. Guru ibarat pelita yang menjadi penerang dalam gulita, hingga disematkan padanya sang pahlawan tanpa tanda jasa. Dalam Islam guru mempunyai kedudukan tinggi yang memberikan ilmu, pembina akhlak mulia, dan meluruskan perilaku yang buruk. Selain sebagai pembimbing dan pemberi arah dalam pendidikan, guru juga berfungsi sebagai motivator dan fasilitator dalam proses belajar-mengajar.

Maha benar Allah dalam firmanNya :

Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujadalah 11)

Wallaahu a’lam bishawwab.
sumber arrahmah.com
Beredar kabar bahwa di Majalengka, Jawa Barat, guru SD nyaris masuk jeruji besi saat mendisiplinkan siswanya yang berambut gondrong. Di Banyuwangi, terjadi kejadian serupa. Seorang guru SD diadili karena menindak siswanya yang memukuli 4 teman kelasnya. Orang tua siswa tak terima anaknya diperlakukan demikian oleh sang guru hingga berujung pada ranah hukum. Padahal sebagai pendidik, sang guru memiliki tanggung jawab moral untuk memberi pelajaran etika dan disiplin kepada anak didiknya, termasuk mencukur rambut siswanya yang gondrong.
Pihak sekolah juga sudah berusaha mempertemukan masalah ini lewat jalur mediasi yang difasilitasi pihak Sekolah, Kecamatan dan Komite Sekolah. Dalam pertemuan itu, guru yang bersangkutan telah meminta maaf kepada keluarga siswa tersebut tapi keluarga siswa memilih mengambil langkah hukum. Walaupun pada akhirnya pengadilan membebaskan sang guru dengan berbagai pertimbangan. Dakwaan jaksa kepada Sang guru di Majalengka, mengenakan UU Perlindungan Anak ditolak mentah-mentah oleh pengadilan negeri, banding dan kasasi. Sang guru hanya dikenakan pasal sabu jagat KUHP yaitu perbuatan tidak menyenangkan. Itu pun ditolak Mahkamah Agung (MA) dan sang guru pun bebas murni. Sebagai guru memiliki fungsi pendidikan dan edukasi, salah satunya memberikan sanksi kepada siswanya.
Bagaimana dengan guru di Banyuwangi? Jaksa mendakwa dengan UU Perlindungan Anak, terutama Pasal 80 ayat 1 UU Perlindungan Anak. Dengan bukti-bukti yang ada, Jaksa lalu menuntut guru tersebut untuk dipenjara selama 5 bulan. Tapi majelis hakim berkata lain, menurutnya sanksi pemukulan tidak mengganggu kegiatan belajar mengajar. Pemberian sanksi berupa pemukulan pada betis kanan dan kiri bagian belakang dengan menggunakan penggaris kayu masih sesuai dengan kaedah pendidikan, sebagaimana dikutip dari website Mahkamah Agung (MA), Ahad (3/1/2016).
Selain itu, apa yang dilakukan guru tersebut masih dalam koridor Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, khususnya Pasal 39. Perbuatan yang dilakukan bukan merupakan tindak pidana karena sifat melawan hukumnya hilang. Walaupun dibenarkan secara hukum (melaporkan ke ranah pidana), tetapi tidak bijaksana karena tidak memberikan contoh yang baik kepada siswa terkait. (news.detik.com, 03/01/2016).
Lalu bagaimana dengan sang orangtua yang melaporkan guru? Orangtua murid di Majalengka awalnya juga dihukum percobaan di tingkat pertama. Tapi oleh Pengadilan Tinggi (PT) Bandung, majelis hakim mencoret hukuman percobaan dan menjatuhkan pidana penjara selama tiga bulan. Hukuman kepada orangtua siswa tersebut lalu dikuatkan di tingkat kasasi.
Sungguh ironis kejadian ini saling mempidanakan satu sama lain. Bagaimana jika sangkaan polisi dan dakwaan jaksa itu dikabulkan? Bisa jadi, seluruh guru di negeri ini akan masuk jeruji besi karena melakukan perbuatan tidak menyenangkan siswa.
Ilmu, guru, dan murid adalah tiga hal yang saling berkaitan. Ketiganya merupakan rangkaian yang tak terpisahkan. Ada guru jika ada murid, begitu juga sebaliknya. Kejadian antara guru dan orangtua ini bisa menghantarkan peran guru untuk mendidik tidak lagi dipercaya penuh oleh orang tua, termasuk ketika memberikan sanksi yang tujuannya untuk mendidik. Di sisi lain UU Perlindungan anak justru hanya memfasilitasi kebebasan bagi anak. Terbukti UU Perlindungan anak yang merupakan adopsi konvensi Hak Anak tidak melindungi, malah menjerumuskan kepada kebebasan.
Jika kita mencoba merenung dan berpikir, siapakah orang yang paling berjasa dalam hidup kita setelah kedua orang tua kita? Jawabannya adalah guru. Guru ibarat pelita yang menjadi penerang dalam gulita, hingga disematkan padanya sang pahlawan tanpa tanda jasa. Dalam Islam guru mempunyai kedudukan tinggi yang memberikan ilmu, pembina akhlak mulia, dan meluruskan perilaku yang buruk. Selain sebagai pembimbing dan pemberi arah dalam pendidikan, guru juga berfungsi sebagai motivator dan fasilitator dalam proses belajar-mengajar.
Maha benar Allah dalam firmanNya :
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujadalah 11)
Wallaahu a’lam bishawwab.
- See more at: http://www.arrahmah.com/kontribusi/kala-sang-pendidik-dipidanakan.html#sthash.IEoViCIp.dpuf

Tidak ada komentar:
Write komentar