Awal mula melakukan pencatatan APBRT didorong oleh kekesalan diri
kalau tidak bisa menjawab pertanyaan suami tentang belanja RT. Ya, kalau
tidak dicatat pastilah sering lupa. Makanya saya membuat buku khusus
daftar penerimaan dan pengeluaran. Tapi karena sering ketelisut, saya kemudian migrasi ke komputer.
Dalam mengelola APBRT, secara prinsip mungkin tidak begitu jauh berbeda dengan mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan pencatatan, saya dapat membuat perencanaan anggaran bulanan. Suami setiap bulan selalu menganggarkan dana senilai tertentu untuk RT. Dana yang diberikan dapat saya ambil langsung utuh atau saya ambil bertahap. Biasanya saya mengambil bertahap.
Dalam menulis Lapkeu, saya biasanya menuliskan pos Penerimaan Awal yang kemudian diikuti dengan pos-pos Belanja Wajib I rutin terlebih dahulu. Dimulai dari membayar SPP sekolah dan TPA anak-anak, membayar langganan koran dan internet, jatah untuk belanja makan harian selama sebulan, infak untuk sebuah yayasan sosial, mengisi kas infak RT, membayar gaji ‘Staf’ yang bantu-bantu di rumah dan Pak Becak langganan anak-anak serta sejumlah pos RT rutin lainnya yang tidak bisa dihilangkan sama sekali. Berikutnya, saya kemudian menyisihkan 50% dari sisa anggaran untuk ditabung. Menabung adalah Belanja Wajib II yang selalu disiplin saya anggarkan. Sisa dari Belanja Wajib I dan II inilah yang kemudian saya kelola agar tetap cukup hingga akhir bulan. Dana inilah yang umumnya teralokasi untuk membeli pulsa, transportasi, belanja perangkat RT, kebutuhan dapur, susu, makanan kecil, dan sebagainya.
Menyusun Lapkeu, bagi saya, ada enak dan tidak enaknya. Enaknya, saya merasa menjadi akuntabel dan bertanggungjawab dalam mengelola amanah suami. Dan yang paling penting, saya juga bisa dengan ‘gagah berani’ menjelaskan kepada suami tentang penyaluran dana RT untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rutin dan insidental yang terjadi.
Untuk menjadi ibu RT yang akuntabel, menurut saya juga dibutuhkan suami yang akuntabel. Meski istri diberi wewenang dan memiliki kebebasan untuk mengelola APBRT, tetapi kehadiran suami juga dibutuhkan untuk pengawasan. Saya seringkali terpaksa membenarkan kritik suami atas belanja RT yang berlebih. Misalnya saja soal belanja makanan kecil/jajanan anak-anak. Efeknya saya rasakan, anak-anak jadi menggemari makanan ber-MSG dan jadi malas makan nasi. Sudah setengah tahun ini saya mengalihkan makanan kecil/jajanan anak-anak pada roti atau biskuit yang relatif lebih sehat dibanding camilan ber-MSG. Diskusi-diskusi dengan suami seperti inilah yang menurut saya penting untuk membangun teamwork dalam mengelola APBRT.
Adapun yang tidak enak dari menyusun Lapkeu ini adalah harus siap berbesar hati menerima kritik dari suami. Meski suami jarang berkesempatan membaca Lapkeu saya, tetapi suami beberapa kali saya paksa untuk meluangkan waktu membaca Lapkeu saya. Setelah menyimak, barulah biasanya suami bertanya, memberi kritik ato masukan. Nah, kalau yang beginian ini yang biasanya saya suka manyun. Hehehehehe...
Apakah Lapkeu saya transparan? Ya iya dong. Setidaknya sampai hari ini saya selalu menulis apa adanya. Suami tidak pernah marah dengan semua alokasi belanja saya. Karena tidak pernah marah itulah, makanya ketika suami bertanya atau memberi masukan, bagi saya itu adalah sinyal keberatan darinya atas keputusan belanja saya. Dari situlah, saya secara intuisi mulai intropeksi agar menjadi lebih berhati-hati menggunakan dana APBRT yang lebih bertanggungjawab. Bertanggungjawab?
Ya…. Saya memang kadang-kadang kurang bertanggungjawab. Suami beberapa kali komplain karena dana APBRT digunakan oleh saya untuk hal-hal yang bersifat charity. Sebab, dana APBRT yang saya terima itu sesungguhnya sudah bersih karena sebelumnya telah dibayarkan untuk zakat dan infak. Dan setiap bulan, masing-masing diantara kami selalu menyisihkan dana charity di luar zakat dan infak rutin. Disamping dana APBRT yang terbatas, dana alokasi kebutuhan RT kan bisa tereduksi karena pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada alokasinya itu. Sementara, saya biasanya enggan mengambil dana 50% yang sudah teralokasi di tabungan. Jadi, ujung-ujungnya biasanya minta tambahan dana lagi ke suami. Hehehehehehe…
Mmm, yang juga kurang bertanggungjawab dari saya adalah suka pinjam uang belanja untuk diputar alias diinvestasikan. Kadang, pas lagi lack liquidity, suka bingung sendiri cari uang cash. Padahal, butuh mendesak. Akhirnya, pinjam uang belanja deh. Dan sering tidak mengembalikan. Hehehehehe. Gara-gara ini pula, suami beberapa kali komplain dan menanyakan berapa tabungan saya dan berapa dana yang saya putar untuk ternak bebek, jualan batik, dan lain-lain. Suami juga beberapa kali menanyakan passive income saya. Waaaaah, untuk yang ini, saya tidak transparan. Bukannya kenapa-kenapa, sebab kalau suami tahu, biasanya akan berujung, “Lho, uangnya Iis kan banyak. Jadi uang belanja dipotong ya….”. Ah, tidaaaaaaaak…. Tidaaaaaaak mauuuu….
Tapi…. Sekarang sudah tidak begitu-begitu banget kok. Mmm, tepatnya, kebiasaan yang kurang baik itu sudah mulai saya eliminir. Untuk hal-hal yang bersifat charity, saya berbesar hati untuk mengambil dari uang tabungan saya agar tidak mengganggu stabilitas APBRT. Untuk yang investasi, saya belajar menahan diri dan tidak memaksakan keinginan jika memang dana tabungan saya tidak mencukupi. Hehehe, begini deh kalau punya hobi nabung n muter-muter duit… *_^
Untuk bulan Agustus ini, saya menjadi semakin hati-hati mengelola APBRT. Sebab, penggunaan dana akan berada di puncak-puncaknya. Selain memperbanyak infak sedekah, saya (dan para ibu RT lainnya) pasti juga dihadapkan pada pembayaran gaji 'staf-staf' yang maju tanggal. Ya iyalah, mana mungkin kita membiarkan para ‘staf-staf’ ini baru menerima bayaran pascalebaran! Padahal, penerimaan APBRT untuk para ibu RT umumnya baru cair di awal bulan. Sedangkan lebaran akan jatuh di sekitar tanggal 31 Agustus atau 1 September. Jadi, ya gitu deh. Harus kalkulasi seksama dan mestinya sudah jauh-jauh hari mempersiapkan kondisi tersebut. Alhamdulillah, kebiasaan menyisihkan uang APBRT setiap bulan untuk kas infaq RT sangat membantu sekali mengatasi hal-hal demikian.
Dr. Khairunnisa Musari, ST., M.MT.
Pemerhati SIT Lumajang
Dalam mengelola APBRT, secara prinsip mungkin tidak begitu jauh berbeda dengan mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan pencatatan, saya dapat membuat perencanaan anggaran bulanan. Suami setiap bulan selalu menganggarkan dana senilai tertentu untuk RT. Dana yang diberikan dapat saya ambil langsung utuh atau saya ambil bertahap. Biasanya saya mengambil bertahap.
Dalam menulis Lapkeu, saya biasanya menuliskan pos Penerimaan Awal yang kemudian diikuti dengan pos-pos Belanja Wajib I rutin terlebih dahulu. Dimulai dari membayar SPP sekolah dan TPA anak-anak, membayar langganan koran dan internet, jatah untuk belanja makan harian selama sebulan, infak untuk sebuah yayasan sosial, mengisi kas infak RT, membayar gaji ‘Staf’ yang bantu-bantu di rumah dan Pak Becak langganan anak-anak serta sejumlah pos RT rutin lainnya yang tidak bisa dihilangkan sama sekali. Berikutnya, saya kemudian menyisihkan 50% dari sisa anggaran untuk ditabung. Menabung adalah Belanja Wajib II yang selalu disiplin saya anggarkan. Sisa dari Belanja Wajib I dan II inilah yang kemudian saya kelola agar tetap cukup hingga akhir bulan. Dana inilah yang umumnya teralokasi untuk membeli pulsa, transportasi, belanja perangkat RT, kebutuhan dapur, susu, makanan kecil, dan sebagainya.
Menyusun Lapkeu, bagi saya, ada enak dan tidak enaknya. Enaknya, saya merasa menjadi akuntabel dan bertanggungjawab dalam mengelola amanah suami. Dan yang paling penting, saya juga bisa dengan ‘gagah berani’ menjelaskan kepada suami tentang penyaluran dana RT untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rutin dan insidental yang terjadi.
Untuk menjadi ibu RT yang akuntabel, menurut saya juga dibutuhkan suami yang akuntabel. Meski istri diberi wewenang dan memiliki kebebasan untuk mengelola APBRT, tetapi kehadiran suami juga dibutuhkan untuk pengawasan. Saya seringkali terpaksa membenarkan kritik suami atas belanja RT yang berlebih. Misalnya saja soal belanja makanan kecil/jajanan anak-anak. Efeknya saya rasakan, anak-anak jadi menggemari makanan ber-MSG dan jadi malas makan nasi. Sudah setengah tahun ini saya mengalihkan makanan kecil/jajanan anak-anak pada roti atau biskuit yang relatif lebih sehat dibanding camilan ber-MSG. Diskusi-diskusi dengan suami seperti inilah yang menurut saya penting untuk membangun teamwork dalam mengelola APBRT.
Adapun yang tidak enak dari menyusun Lapkeu ini adalah harus siap berbesar hati menerima kritik dari suami. Meski suami jarang berkesempatan membaca Lapkeu saya, tetapi suami beberapa kali saya paksa untuk meluangkan waktu membaca Lapkeu saya. Setelah menyimak, barulah biasanya suami bertanya, memberi kritik ato masukan. Nah, kalau yang beginian ini yang biasanya saya suka manyun. Hehehehehe...
Apakah Lapkeu saya transparan? Ya iya dong. Setidaknya sampai hari ini saya selalu menulis apa adanya. Suami tidak pernah marah dengan semua alokasi belanja saya. Karena tidak pernah marah itulah, makanya ketika suami bertanya atau memberi masukan, bagi saya itu adalah sinyal keberatan darinya atas keputusan belanja saya. Dari situlah, saya secara intuisi mulai intropeksi agar menjadi lebih berhati-hati menggunakan dana APBRT yang lebih bertanggungjawab. Bertanggungjawab?
Ya…. Saya memang kadang-kadang kurang bertanggungjawab. Suami beberapa kali komplain karena dana APBRT digunakan oleh saya untuk hal-hal yang bersifat charity. Sebab, dana APBRT yang saya terima itu sesungguhnya sudah bersih karena sebelumnya telah dibayarkan untuk zakat dan infak. Dan setiap bulan, masing-masing diantara kami selalu menyisihkan dana charity di luar zakat dan infak rutin. Disamping dana APBRT yang terbatas, dana alokasi kebutuhan RT kan bisa tereduksi karena pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada alokasinya itu. Sementara, saya biasanya enggan mengambil dana 50% yang sudah teralokasi di tabungan. Jadi, ujung-ujungnya biasanya minta tambahan dana lagi ke suami. Hehehehehehe…
Mmm, yang juga kurang bertanggungjawab dari saya adalah suka pinjam uang belanja untuk diputar alias diinvestasikan. Kadang, pas lagi lack liquidity, suka bingung sendiri cari uang cash. Padahal, butuh mendesak. Akhirnya, pinjam uang belanja deh. Dan sering tidak mengembalikan. Hehehehehe. Gara-gara ini pula, suami beberapa kali komplain dan menanyakan berapa tabungan saya dan berapa dana yang saya putar untuk ternak bebek, jualan batik, dan lain-lain. Suami juga beberapa kali menanyakan passive income saya. Waaaaah, untuk yang ini, saya tidak transparan. Bukannya kenapa-kenapa, sebab kalau suami tahu, biasanya akan berujung, “Lho, uangnya Iis kan banyak. Jadi uang belanja dipotong ya….”. Ah, tidaaaaaaaak…. Tidaaaaaaak mauuuu….
Tapi…. Sekarang sudah tidak begitu-begitu banget kok. Mmm, tepatnya, kebiasaan yang kurang baik itu sudah mulai saya eliminir. Untuk hal-hal yang bersifat charity, saya berbesar hati untuk mengambil dari uang tabungan saya agar tidak mengganggu stabilitas APBRT. Untuk yang investasi, saya belajar menahan diri dan tidak memaksakan keinginan jika memang dana tabungan saya tidak mencukupi. Hehehe, begini deh kalau punya hobi nabung n muter-muter duit… *_^
Untuk bulan Agustus ini, saya menjadi semakin hati-hati mengelola APBRT. Sebab, penggunaan dana akan berada di puncak-puncaknya. Selain memperbanyak infak sedekah, saya (dan para ibu RT lainnya) pasti juga dihadapkan pada pembayaran gaji 'staf-staf' yang maju tanggal. Ya iyalah, mana mungkin kita membiarkan para ‘staf-staf’ ini baru menerima bayaran pascalebaran! Padahal, penerimaan APBRT untuk para ibu RT umumnya baru cair di awal bulan. Sedangkan lebaran akan jatuh di sekitar tanggal 31 Agustus atau 1 September. Jadi, ya gitu deh. Harus kalkulasi seksama dan mestinya sudah jauh-jauh hari mempersiapkan kondisi tersebut. Alhamdulillah, kebiasaan menyisihkan uang APBRT setiap bulan untuk kas infaq RT sangat membantu sekali mengatasi hal-hal demikian.
Dr. Khairunnisa Musari, ST., M.MT.
Pemerhati SIT Lumajang
Tidak ada komentar:
Write komentar