Minggu, 25 Oktober 2015

Kegiatan Santunan Anaka Yatim "Memohon Surga dengan Pemuliaan Anak Yatim"

Teguran Allah Swt. terhadap orang-orang yang mengukur kemuliaan dan kehinaan dengan tolok ukur materi, diikuti dengan teguran-Nya atas sikap individualistis dan mementingkan diri sendiri terdapat dalam surat al-Fajr ayat 17. Salah satu masalah utama yang dicela adalah tidak peduli terhadap anak yatim dan tidak memuliakannya.
Para anak yatim bersama penderma yang didampingi istri ketua yayasan

Allah berfirman; 
Tidak sekali-kali, bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim.” (QS Al Fajr, 89:17)
Anak-anak yatim merupakan salah satu pos untuk kepedulian dan kebaikan yang diperintahkan oleh Allah Swt. Ibnu Katsir memahami ayat ini sebagai perintah dari Allah Swt. untuk memuliakan anak yatim walaupun pernyataan firman-Nya sendiri dengan kalimat negasi dan pengingkaran. (tafsir Ibnu Katsir: 4/473).
Islam memotivasi setiap mukmin untuk memberikan kontribusi maksimal kepada umat dan orang lain. Islam sangat mencela orang yang hanya  berfikiran sempit dengan mementingkan kebutuhan pribadi dan tidak peduli dengan kebutuhan orang lain. Riwayat yang mauquf dan lemah menyatakan; “Barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia bukanlah dari golongan mereka” (Abu Nu’aim dll), sangat masyhur menjadi stigma dan aib bagi orang yang cuek dan acuh tak acuh terhadap permasalahan dan musibah yang menimpa umat. Sebaliknya Islam sangat memuji orang yang dermawan, peduli, responsip terhadap problematika umat dan orang lain. Oleh karena itu Rasulullah Saw. bersabda; “sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain”. (al-hadits, lemah riwayat Thabrani)
Kegiatan pemberian bingkisan yatim

Kegiatan pemberian bingkisan yatim
Teguran Allah tersebut tertuju kepada orang-orang yang bersikap individualistis dan tidak peduli terhadap kebutuhan orang lain khususnya anak yatim. Teguran ini menurut Imam As-Sa’di sebagai koreksi atas prinsip hidup yang lemah dan individualistis. Beliau berkata; “sesungguhnya perhatian orang yang terbatas pada lingkup kebutuhannya sendiri merupakan tanda-tanda ketakberdayaan dan kelemahannya. Orang semacam ini sangat dicela dan dihina oleh Allah Swt. karena tidak memperhatikan kebutuhan makhluk lain dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan”. (Taisirul Karimir Rahman: 1111)
Islam yang agung dan universal menempatkan anak yatim dalam posisi yang sangat tinggi. Islam mengajarkan untuk menyayangi mereka dan  melarang melakukan tindakan-tindakan yang dapat menyinggung perasaan mereka. Banyak sekali ayat-ayat Al-qur’an dan hadits-hadits Nabi saw yang menerangkan tentang berbuat baik dan memuliakan anak yatim. Diantaranya; 
 “Dan berbuat baiklah kepada ibu bapak dan kaum kerabat serta anak-anak yatim dan orang-orang miskin.” (QS Al Baqoroh,2:83)
 “Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin.” (Al Baqoroh,2:177)
 “Katakanlah, “Apa saja harta benda (yang halal) yang kamu infakkan, maka berikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat dan anak-anak yatim.” (QS Al Baqoroh,2:215)
 “Dan mereka bertanya kepadamu mengenai anak-anak yatim. Katakanlah, “Memperbaiki keadaan anak-anak yatim itu amat baik bagimu.” (QS Al Baqoroh,2:220
Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dan kaum kerabat dan anak-anak yatim.” (QS An Nisaa,4:127)
Sedangkan dalam sunnah digambarkan  betapa perhatian Nabi s.a.w. sangat besar sekali terhadap yatim piatu. Beliau prihatin, melindungi, dan menjamin keperluan hidup mereka, dan selalu dipesankan dan dianjurkan kepada umatnya dalam tiap keadaan. "Aku dan pemelihara anak yatim, akan berada di surga kelak", sambil mengisyaratkan dan mensejajarkan kedua jari tengah dan telunjuknya. (H.R. Bukhari) Dalam hadis yang lain baginda s.a.w. bersabda "Sebaik-baik rumah tangga muslim ialah yang di dalamnya ada anak yatim yang dilayani dengan baik" (H.R. Ibnu Majah) 
Imam As-Sa’di menjelaskan; “yatim adalah orang yang telah tiada ayahnya dan penanggung hidupnya, ia sangat membutuhkan pengayoman dan perbuatan baik dari orang lain”. (Taisirul Karimir Rahman: 1111) Tentu tidak semua anak yatim hidup dalam kemiskinan, bahkan tidak sedikit yang kaya raya, menerima warisan dari orang tuanya. 
Maka cara memuliakan anak yatim seperti yang disebutkan oleh As-Syaukani paling ada dua bentuk;
a. Anak yatim kaya.
Cara memuliakannya adalah dengan menumbuhkan dan mengembangkan harta anak yatim tersebut dengan penuh amanah, tanggung jawab, dan kasih sayang. Bila orang yang mengurus usaha anak yatim tersebut dalam kaya, maka ia tidak boleh memakan dari harta anak yatim tersebut, namun bila yang mengurusnya fakir, boleh memakan seperlunya dan dengan ukuran kebiasaan. (QS. An-Nisa’: 6) 
b. Anak yatim fakir.
Menyantuni, mengasuhnya dan mencukupi kebutuhannya. (tafsir Fathul Qodir: 5/543) 
Sungguh mulia balasan bagi pengasuh anak yatim. Rasulullah Saw. bersabda; “sebaik-baik rumah kaum muslimin adalah rumah yang di dalamnya ada anak yatim dan diasuh dengan baik. Dan seburuk-buruk rumah kaum muslimin adalah rumah yang di dalamnya ada anak yatim, namun diasuh dengan buruk. Kemudian beliau menunjukkan dengan jari tengah dan telunjuknya sambil bersabda; “aku dan pengasuh anak yatim seperti ini di surga”. (HR. Abu Daud) 
Dalam  riwayat yang lain disebutkan ''Bila engkau ingin agar hati menjadi lembut dan damai dan Anda mencapai keinginanmu, sayangilah anak yatim, usaplah kepalanya, dan berilah dia makanan seperti yang engkau makan. Bila itu engkau lakukan, hatimu akan tenang serta lembut dan keinginanmu akan tercapai. (HR Thabrani).
Hadis tersebut memberikan petunjuk kepada umat Islam bahwa salah satu sarana untuk menenangkan batin dan mendamaikan hati ini adalah mendekati anak yatim, terlebih yatim piatu. Mengusap kepala mereka dan memberinya makan minum merupakan simbol kepedulian dan perhatian serta tanggung jawab terhadap anak yatim/piatu.
Berbuat baik terhadap anak yatim/piatu bukanlah sekadar turut membantu menyelesaikan lapar dan dahaga sosialnya. Tetapi, di sisi lain perbuatan itu merasuk ke dalam batin, menenteramkan hati, dan mendamaikan perasaan orang yang memberi perhatian kepada mereka. Berbagai ayat Alquran dan hadis Nabi banyak membicarakan betapa mulianya kedudukan anak yatim/piatu dalam pandangan Allah SWT.
Di dalam surat Ad-Dhuha ayat 9, Allah SWT melarang keras dari sikap melakukan kekerasan kepada anak yatim/piatu. Firman Allah SWT: ''Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.'' Anak yatim yang ditinggal wafat oleh ayahnya dan yatim piatu yang ditinggalkan ayah-ibunya, mendambakan belaian dan kasih sayang dari orang lain. Baik keluarga terdekat maupun dari yang lainnya. Orang yang menenangkan hati dan perasaan anak yatim, ia pun akan memperoleh balasan seperti itu pula, yakni ketenangan batin.
Secara singkat dari penelusurian ajaran Islam, kita mendapatkan ajaran yang sangat agung dan mulia berkenaan dengan  anak yatim.
Pertama, berbuat baik kepada anak yatim adalah amalan sangat utama. (QS al-Baqarah [2]: 177). Sebelum Islam datang, anak yatim tak mendapatkan perhatian apalagi santunan yang layak. Lalu, Islam memuliakannya dan melarang untuk mengeksploitasinya. (QS al-An'am: 152-153, al-Isra: 34). Memakan harta anak yatim merupakan salah satu dosa besar dan penyebab masuk neraka. Rasul SAW bersabda, "Jauhilah tujuh dosa besar, yakni menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh zina wanita mukmin yang lalai." (HR Bukhari dan Muslim).
Kedua, Alquran melarang penghinaan dan menyakiti anak yatim. (QS al-Fajr: 15-23, adh-Dhuha; 9, al-Ma'un: 1-3). 
Ketiga, Alquran memerintahkan supaya kita memuliakan anak yatim dan balasannya adalah surga. (QS al-Insan: 8-22). 
Keempat, Islam menegaskan bahwa penyantun dan penjamin anak yatim akan menjadi teman dekat Rasulullah di surga. ( HR Bukhari dan Ahmad).
Kelima, rumah terbaik adalah rumah yang di dalamnya ada anak yatim yang dimuliakan, dan sejelek-jelek rumah adalah rumah yang ada anak yatim, namun dihinakan. 
Dengan demikian kita wajib menyantuni anak yatim dan memperhatikan hak-hak mereka bukan saja aspek material tapi juga aspek pendidikan, ekonomi, sosial, spiritual, dan lain.

Rabu, 21 Oktober 2015

Cara Islam Melindungi dan Mengakhiri Kekerasan terhadap Anak (2)

Penerapan sistem Islam akan meminimalkan faktor-faktor yang bisa memicu kasus pelanggaran dan kekerasan terhadap anak


Oleh: Rahmawati Ayu Kartini
Islam, Pelindung Terbaik

Dalam tatanan masyarakat di mana liberalism dan kapitalisme tumbuh menjadi dasar dan acuan, mau tidak mau lahirlah persaingan bebas. Siapa yang memiliki modal terbesar, dialah yang menang. Modal itu bisa berupa harta, kecantikan atau ketampanan, jaringan atau relasi, dan fisik lainnya. Jika tidak memiliki, hilanglah peluangnya untuk menjadi orang sukses.
Inilah yang memicu persaingan tak sehat, perilaku culas dan keserakahan. Nilai-nilai kemanusiaan pun luntur. Berganti dengan sikap saling iri, dengki, hasud, dan dendam. Interaksi dalam masyarakatpun akhirnya tak lagi guyub (akrab), tapi egois dan individualis. Masyarakat yang merasa terpinggirkan pun akhirnya apatis.
Karena itu, produk hukum yang dilahirkan di era liberalism dan kapitalisme, sedikit banyak juga produk hukum yang berasoma liberalism dan kapitalisme. Tidak aka nada hukum yang mewakili semua umat manusia, kecuali hukum yang dibuat oleh Sang Khalik, pemilik manusia.
Semua masalah terkait anak juga terkait dengan perlindungan hukum di Indonesia. Selama ini, hukum yang diterapkan di berbagai lini kehidupan bersumber hukum buatan Belanda, yang menjauhkan dari nilai al-Quran dan as Sunnah.
Perlindungan anak hanya bisa diwujudkan dengan menerapkan sistem dan nilai Islam. Sistem Islam akan mampu mewujudkan perlindungan terhadap anak dengan tiga pilar: ketakwaan individu, kontrol masyarakat, serta penerapan sistem dan hukum Islam oleh negara.
Islam mewajibkan Negara untuk terus membina ketakwaan individu rakyatnya. Negara menanamkan ketakwaan individu melalui kurikulum pendidikan, seluruh perangkat yang dimiliki dan sistem pendidikan baik formal maupun informal. Negara menjaga suasana ketakwaan di masyarakat antara lain dengan melarang bisnis dan media yang tak berguna dan berbahaya, semisal menampilkan kekerasan dan kepornoan.
Individu rakyat yang bertakwa tidak akan melakukan kekerasan terhadap anak. Masyarakat bertakwa juga akan selalu mengontrol agar individu masyarakat tidak melakukan pelanggaran terhadap hak anak. Masyarakat juga akan mengontrol negara atas berbagai kebijakan negara dan pelaksanaan hukum-hukum Islam.
Negara menerapkan sistem dan hukum Islam secara menyeluruh. Sistem ekonomi Islam yang diterapkan negara akan mendistribusikan kekayaan secara berkeadilan dan merealisasi kesejahteraan. Kekayaan alam dan harta milik umum dikuasai dan dikelola langsung oleh negara. Seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat baik langsung maupun dalam bentuk berbagai pelayanan.
Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, Negara akan mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pokok tiap individu (pangan, sandang, dan papan); juga akan mampu menjamin pemenuhan kebutuhan dasar akan kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Dengan begitu, tekanan ekonomi sebagai salah satu faktor pemicu terbesar munculnya pelanggaran terhadap hak anak bisa dicegah sedari awal.
Kaum ibu juga tidak akan dipisahkan dari anak-anak mereka. Kaum ibu bisa melaksanakan fungsi sepenuhnya dalam merawat dan mendidik anak-anak mereka.
Penerapan sistem Islam akan meminimalkan faktor-faktor yang bisa memicu kasus pelanggaran dan kekerasan terhadap anak. Namun, jika masih ada yang melakukan itu, maka sistem ‘uqubat (sanksi hukum) Islam akan menjadi benteng yang bisa melindungi masyarakat. Caranya adalah dengan pemberian sanksi hukum yang berat, yang bisa memberikan efek jera bagi pelaku kriminal dan mencegah orang lain berbuat serupa.
Pelaku kekerasan yang menyebabkan kematian anak, tanpa kekerasan seksual, akan dijatuhi hukuman qishash. Pelaku pedofili dalam bentuk sodomi, meski korban tidak sampai meninggal, akan dijatuhi hukuman mati. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:
“Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku (yang menyodomi) dan pasangannya (yang disodomi).” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, al-Hakim, dan al-Baihaqi).
Sebagai korban, tentunya anak tidak akan dikenai sanksi. Sebaliknya, ia akan dilindungi dan dijaga kehormatannya.
Jika kekerasan seksual terhadap anak itu dalam bentuk perkosaan, maka pelakunya jika muhshan (sudah menikah), akan dirajam hingga mati; sedangkan jika ghayr muhshan (belum menikah), akan dicambuk seratus kali. Jika pelecehan seksual tidak sampai tingkat itu, maka pelakunya akan dijatuhi sanksi ta’zir, yang bentuk dan kadar sanksinya diserahkan ijtihad Khalifah dan qadhi (hakim).
Pelaksanaan semua sanksi itu dilakukan secara terbuka, dilihat oleh masyarakat dan segera dilaksanakan tanpa penundaan lama. Dengan itu pelaku kekerasan terhadap anak tidak akan bisa mengulangi tindakannya. Anggota masyarakat lainnya juga tercegah dari melakukan tindakan kejahatan serupa.
Penutup
Tiap anak merupakan amanah Allah yang kelak akan dimintai pertanggung jawabannya. Dengan demikian, mereka merupakan ladang amal orangtuanya. Paradigma ini akan membuat orangtua berupaya mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Cermat mengidentifikasi hal-hal apa yang bisa menghantarkan diri dan anaknya meraih keridhaan Allah dan apa saja yang bisa menghalanginya.
Orangtua yang memiliki paradigma semacam ini, akan berupaya menjadikan dirinya dan keluarga menjadi sebuah benteng yang akan melindungi anak-anaknya dari hal-hal yang bisa mencelakakannya. Orangtua dan keluarga memegang peranan penting dalam menjaga dan mengawasi anak-anak dari ancaman apapun.
Masyarakat yang terdiri dari individu-individu bertakwa pun tidak akan cuek terhadap persoalan yang menyangkut anak. Anak orang lain akan dianggapnya anak sendiri, bila menyangkut aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar. Anak siapapun akan berusaha diselamatkannya dari aktivitas kejahatan dan perbuatan maksiat.
Begitupula Negara yang memiliki peran paling besar, karena mampu membuat aturan yang dapat menyuruh warganya berbuat baik atau mencegahnya dari perbuatan yang buruk. Negara mampu memberikan perlindungan terbesar bagi warganya. Bila ketiga komponen ini dapat menjalankan fungsinya dengan maksimal, maka kekerasan terhadap anak akan dapat diakhiri. Wallahu a’lam bishowab.*

Pendidik, tinggal di Jember Jawa Timur

Cara Islam Melindungi dan Mengakhiri Kekerasan terhadap Anak [1]

Negara memiliki program untuk membangun ketahanan keluarga. Namun, alih-alih menguatkan, Pemerintah justru menguatkan ide-ide penghancuran keluarga



SETELAH sekian kali terjadi, masyarakat kembali dikejutkan dengan penemuan jenazah seorang anak perempuan yang diketahui berinisial PNF di Jalan Sahabat, RT 05/05 Kelurahan Kamal, Kalideres, Jakarta Barat, pada Jumat (2/10/2015) malam.
Jenazah PNF ditemukan di dalam kardus. Berdasarkan hasil otopsi, diduga PNF menjadi korban kekerasan seksual (perkosaan) sebelum dibunuh. Itu artinya, pelaku diduga seorang pengidap pedofilia.
Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat tingginya angka kasus kekerasan terhadap anak.
Tahun 2007 ada 1.510 kasus, tahun 2008 ada 1.826 kasus, tahun 2009 ada 1.998 kasus, tahun 2010 ada 2.046 kasus, tahun 2011 ada 2.462 kasus (58% berupa kasus kekerasan seksual), tahun 2012 ada 2.637 kasus (62% berupa kasus kekerasan seksual), tahun 2013 terjadi 3.339 kasus (54% berupa kasus kekerasan seksual) dan tahun 2014 terjadi 2.750 kasus (58% berupa kasus kekerasan seksual).
Menurut Kak Seto, Dewan Pembina Konsultatif Komnas Perlindungan Anak, dari Januari hingga Mei 2015 sudah ada 500 laporan kasus kekerasan anak yang diterima KPAI. Jumlah kekerasan yang terjadi di lapangan tentu jauh lebih tinggi dari data yang Komnas PA terima (CNN Indonesia, 5/7/2015).
Menurut penelitian, anak-anak yang pernah menjadi korban kejahatan ini akan cenderung menjadi pelaku di usia dewasanya nanti jika tidak ditangani secara tepat. Trauma yang berkepanjangan tentu akan kontra produktif dengan proses tumbuh kembang mereka pada masa mendatang.
Akar Masalah
Berdasarkan hasil kajian Indonesia Indicator (I2), dari 343 media online di seluruh Indonesia, baik nasional maupun lokal pada periode 1 Januari 2012 hingga 19 Juni 2015, faktor utama penyebab kekerasan terhadap anak berasal dari faktor luar atau sosial, terutama kemiskinan (pikiran-rakyat.com, 22/6/2015).
Penyebab kekerasan terhadap anak berasal dari faktor luar atau sosial yaitu kemiskinan, masalah keluarga, masalah sosial, gangguan jiwa pelaku kekerasan, dan rendahnya pengetahuan pelaku kekerasan akan efek tindakannya. Tampak jelas, kemiskinan atau tekanan ekonomi merupakan faktor utama penyebab kekerasan pada anak.
Menurut data Komnas PA, pemicu kekerasan terhadap anak di antaranya: KDRT, disfungsi keluarga: yaitu peran orangtua tidak berjalan sebagaimana seharusnya, tekanan ekonomi atau kemiskinan, salah pola asuh dan terinspirasi tayangan media. Semua itu hanyalah faktor penyebab atau lebih tepatnya merupakan faktor pemicu. Semua faktor itu merupakan akibat dari pembangunan masyarakat bercorak kapitalistik dan akibat dari penerapan sistem sekular kapitalisme liberal di segala sisi kehidupan.
Gagal Melindungi Anak
Indonesia merdeka sudah 70 tahun. Berbagai berbagai produk hukum sudah kita coba, tapi nampaknya tak pernah memberikan rasa aman. Ancaman terhadap kehormatan pun datang bertubi-tubi, silih berganti mencari korbannya, tak terkecuali anak-anak. Bahkan kejahatan terhadap anak jauh lebih sadis dan memilukan.
Makin banyak kasus kekerasan terhadap anak menguatkan bukti bahwa sistem dan negara gagal melindungi anak. Kegagalan itu karena upaya yang dilakukan tidak pernah menyentuh faktor penyebab, apalagi akar masalahnya. Negara juga telah dilucuti fungsinya sekadar sebagai pembuat regulasi (aturan) dan bukan sebagai penanggung jawab dalam perlindungan warganya, terutama anak-anak. Negara tidak mampu mendidik warganya bagaimana dalam memperlakukan dan mendudukkan peran anak. Negara cenderung kurang perduli dengan apa yang dialami rakyatnya.
Negara pun banyak melempar tanggung jawab penyelesaian pada peran keluarga dan keterlibatan masyarakat.
Berbagai kebijakan Pemerintah selama ini juga gagal. Bahkan banyak kebijakan yang saling bertabrakan. Pemerintah mengandalkan keluarga sebagai pemeran penting dalam pendidikan dan perlindungan anak. Namun, itu dinihilkan oleh kebijakan yang mengharuskan para ibu untuk memasuki dunia kerja demi kepentingan ekonomi dan mengejar eksistensi diri dengan program pemberdayaan ekonomi perempuan.
Akibatnya, ibu dipisahkan dari anak. Fungsi ibu dalam mendidik anak pun tak terlaksana. Pemerintah meminta keluarga agar menjadi pembina dan penjaga moral anak. Namun, Pemerintah pun memfasilitasi bisnis dan media yang menawarkan racun kepornoan. Berbagai pemicu hasrat seksual juga dibiarkan tersebar luas.
Negara memiliki program untuk membangun ketahanan keluarga. Namun, alih-alih menguatkan, Pemerintah justru menguatkan ide-ide penghancuran keluarga melalui pengarusutamaan gender. Negara juga tidak memiliki kurikulum yang berorientasi menghasilkan individu calon orangtua yang mampu mendidik dan melindungi anak.
Sistem yang tidak memadai itu masih diperparah oleh pelaksanaan kebijakan yang juga banyak bermasalah. Komisi VIII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, sebagaimana diberitakan Republika.co.id (5/10), menyebut banyak kendala baik pada tataran koordinasi, implementasi (pelaksanaan) maupun penganggaran. Banyak program Pemerintah yang dinilai tak tepat dalam mengatasi masalah anak.
Koordinasi antar lembaga kementrian juga tidak berjalan maksimal. Masing-masing memiliki program dan berjalan sendiri-sendiri. Pada tataran pelaksanaan, banyak aturan dan kebijakan yang belum dijalankan dengan baik. Padahal aturan dan kebijakan itu banyak yang diarahkan pada upaya perlindungan anak-anak.* (BERSAMBUNG)

Oleh: Rahmawati Ayu Kartini
Penulis seorang pendidik, tinggal di Jawa Timur

Selasa, 13 Oktober 2015

Gebyar Muharram 1437 H

Klakah, 14 Oktober 2015 SDIT NUrul Islam Klakah mengadakan Gelaran Gebyar Muharram 1437 H dengan berbagai macam kompetisi, diantaranya MHQ (Musabaqah Hifdzil Quran), lomba baca puisi dan menggambar. Acara yang diikuti oleh seluruh siswa mulai dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 berlangsung meriah dan antusias para peserta sangat tinggi.
Musabaqah Hifdzil Quran Kelas 1 dan 2
Musabaqah Hifdzil Quran kelas 3-6

SDIT NUrul Islam Klakah memang rutin mengadakan agenda peringatan tahun baru Hijriyah tersebut setiap tahunnya sebagai ajang menyebarkan syiar dan dakwah Islamiyah yang kini sudah mulai jarang ada bahkan sudah mulai terlupakan, sehingga tanggal 1 Muharram terasa seperti hari libur biasa-biasa saja.

Ada beberapa hal yang perlu semua orang ketahui tentang sejarah dari bulan Muharram. Banyak orang yang beranggapan bahwa bulan Muharram/Suro bulan yang sakral dengan adanya ritual Kejawen, ruwatan, kirim sesajen, dan sebagainnya. Sakral-nya memang betul karena bulan Muharram adalah salah satu dari empat bulan yang diberkahi Allah SWT. Bulan tersebut ialah Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharam (‘Asyura’) serta yang keempat sendiri yaitu bulan Rajab antara Jumada Tsaniyah dengan bulan Sya’ban.

Ya sudahlah, mungkin mereka memang belum faham mengenai arti dari bulan Muharram tahun baru bagi umat Islam. Ini menjadi tugas kita untuk mendakwahi mereka-mereka agar mengerti dan faham.

Sementera itu, mari kita korek lebih dalam tentang kebaikan dibulan Muharram, keistimewaan, kemiliaan, dan sejarahnya.

Sejarah Penentuan Bulan Hijriyah

Kalender Hijriyah telah dimulai sejak masa Umar bin Khatab, ketika beliau mengumpulkan para sahabatnya untuk bermusyawarah kapan dimulainya tahun baru Islam?

Ada yang berpendapat, “Dimulai dari lahirnya Rasulullah ”, sebagian lagi mengatakan, “Dimulai dari diutusnya beliau ”, yang lain mengatakan, “Dimulai dari hijrahnya Rasulullah ”, yang lain mengatakan, “Dimulai dari meninggalnya beliau ”. Namun kemudian Umar memilih untuk dimulai tahun baru Islam dari hijrahnya Rasulullah , karena memiliki beberapa pertimbangan :
1) Hijrah membedakan antara yang hak dan yang batil,
2) Hijrah merupakan awal membangun kekuatan umat Islam,
3) Hijrah merupakan awal pembentukan negri Islam dengan kekuasaan yang berdiri sendiri.

Singkat cerita Umar, Utsman dan Ali sepakat bulan Muharram adalah awal dari tahun baru Hijriyah, dimana Rasulullah membai’at orang-orang Anshar untuk hijrah dan bai’at ini merupakan muqodimah dari hijrahnya Rasulullah.

Marilah kita galakan syiar dakwah Islam melalui peringatan hari-hari besar Islam dalam mendidik anak kita guna menghadapi tantangan waktu yang kian hari kian terasa menakutkan, Semonga Allah membimbing kita

Nuris Perss

Foto-foto kegiatan Gebyar Muharram 1437 H

Auditorium Lomba Membaca Puisi

Lomba Mewarnai

Peserta Loba Baca Puisi B
Semarak Keceriaan Peserta

Juara Membaca Puisi A

Juara Membaca Puisi B

Juara MHQ B

Juara MHQ A

Juara Mewarnai

Juara Menggambar

Sabtu, 10 Oktober 2015

Mukhoyyam Pertamaku, Apa sih mukhoyyam itu ?

Kalian sudah tahu apa itu Mukhoyyam ?
Nah, bagi yang belum mengenal mukhoyyam kami akan sedikit bertanya-tanya tentang mukhoyyam kepada Ust. Iqbal Abdur Rofiq Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan yang bertanggung jawab secara langsung pada acara mukhoyyam ini.

Mukhoyyam dalah pengalaman yang menyenangkan bagiku, setelah sebelumnya 2 hari sakit aku berpikir wah gak bisa ikut Mukhoyyam ini besok, padahal hari terakhir sakit hari Kamis dan mukhoyamnya besok jumat. Aku membatin pokoke besok harus bisa ikut Mukhoyyam, Alhamdulillah keesokan harinya badanku dah baikan.


Apa sih Mukhoyyam itu ?
Mukhoyyam berasal dari bahasa Araba yang berarti BERKEMAH atau biasa disebut camping, kegiatannya gak beda-beda jauh sama kemah-kemah lainnya yaitu kegiatan outdoor bagi para santri untuk melatih fisik dan menumbuhkan semangat bela agama dan bangsa, cuma kemah yang ini harus semua kegiatannya sesuai dengan syariat Islam, sebagai agama yang kita yakini.

Apa saja kegiatan persiapan mukhoyyam?
Kegiatan persiapan mukhoyyam akan dititik beratkan pada pelatihan fisik dan stamina para santri diantaranya dengan mengadakan pelatihan Stretching, Bip Training, dan Baris-berbaris, tapi gak boleh ketinggalan juga loh.. tilawah, shalat jamaah dan dzikir al matsuratnya. 

Dan apa fungsi mukhoyyam itu sendiri dari sisi tarbiyah (pendidikan)?
Mukhoyyam merupakan salah satu wasail (sarana) tarbiyah untuk mewujudkan salah satu muwashofat (karakter seorang da'i yang handal).


Alhamdulillah, ternyata begitu penting program mukhoyyam ini sebagai sebuah proses membentuk karakter seorang muslim yang handal (TANGKAS, KUAT, CEPAT) karena kita semua faham betul dan mengetahuinya bahwa Allah swt lebih mencintai seorang hambanya yang kuat dari pada seorang hambanya yang lemah. Untuk itu mari kita dukung program Mukhoyyam Tarbawi , berikan semangat dan motivasi, karena semagat dan motivasi yg kuat melahirkan tekad yang kuat pula

Narasi by M. Roudalnil Muhibbin



Senin, 05 Oktober 2015

Menjadi Ibu Rumah Tangga yang Akuntabel dalam Mengelola APBRT (Anggaran Pendapatan dan Belanja Rumah Tangga)

Awal mula melakukan pencatatan APBRT didorong oleh kekesalan diri kalau tidak bisa menjawab pertanyaan suami tentang belanja RT. Ya, kalau tidak dicatat pastilah sering lupa. Makanya saya membuat buku khusus daftar penerimaan dan pengeluaran. Tapi karena sering ketelisut, saya kemudian migrasi ke komputer.
Dalam mengelola APBRT, secara prinsip mungkin tidak begitu jauh berbeda dengan mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan pencatatan, saya dapat membuat perencanaan anggaran bulanan. Suami setiap bulan selalu menganggarkan dana senilai tertentu untuk RT. Dana yang diberikan dapat saya ambil langsung utuh atau saya ambil bertahap. Biasanya saya mengambil bertahap.
13121191081493895734Dalam menulis Lapkeu, saya biasanya menuliskan pos Penerimaan Awal yang kemudian diikuti dengan pos-pos Belanja Wajib I rutin terlebih dahulu. Dimulai dari membayar SPP sekolah dan TPA anak-anak, membayar langganan koran dan internet, jatah untuk belanja makan harian selama sebulan, infak untuk sebuah yayasan sosial, mengisi kas infak RT, membayar gaji ‘Staf’ yang bantu-bantu di rumah dan Pak Becak langganan anak-anak serta sejumlah pos RT rutin lainnya yang tidak bisa dihilangkan sama sekali. Berikutnya, saya kemudian menyisihkan 50% dari sisa anggaran untuk ditabung. Menabung adalah Belanja Wajib II yang selalu disiplin saya anggarkan. Sisa dari Belanja Wajib I dan II inilah yang kemudian saya kelola agar tetap cukup hingga akhir bulan. Dana inilah yang umumnya teralokasi untuk membeli pulsa, transportasi, belanja perangkat RT, kebutuhan dapur, susu, makanan kecil, dan sebagainya.
Menyusun Lapkeu, bagi saya, ada enak dan tidak enaknya. Enaknya, saya merasa menjadi akuntabel dan bertanggungjawab dalam mengelola amanah suami. Dan yang paling penting, saya juga bisa dengan ‘gagah berani’ menjelaskan kepada suami tentang penyaluran dana RT untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rutin dan insidental yang terjadi.
1312121816501961529Untuk menjadi ibu RT yang akuntabel, menurut saya juga dibutuhkan suami yang akuntabel. Meski istri diberi wewenang dan memiliki kebebasan untuk mengelola APBRT, tetapi kehadiran suami juga dibutuhkan untuk pengawasan. Saya seringkali terpaksa membenarkan kritik suami atas belanja RT yang berlebih. Misalnya saja soal belanja makanan kecil/jajanan anak-anak. Efeknya saya rasakan, anak-anak jadi menggemari makanan ber-MSG dan jadi malas makan nasi. Sudah setengah tahun ini saya mengalihkan makanan kecil/jajanan anak-anak pada roti atau biskuit yang relatif lebih sehat dibanding camilan ber-MSG. Diskusi-diskusi dengan suami seperti inilah yang menurut saya penting untuk membangun teamwork dalam mengelola APBRT.
Adapun yang tidak enak dari menyusun Lapkeu ini adalah harus siap berbesar hati menerima kritik dari suami. Meski suami jarang berkesempatan membaca Lapkeu saya, tetapi suami beberapa kali saya paksa untuk meluangkan waktu membaca Lapkeu saya. Setelah menyimak, barulah biasanya suami bertanya, memberi kritik ato masukan.  Nah, kalau yang beginian ini yang biasanya saya suka manyun. Hehehehehe...
1312121032809047656Apakah Lapkeu saya transparan? Ya iya dong. Setidaknya sampai hari ini saya selalu menulis apa adanya. Suami tidak pernah marah dengan semua alokasi belanja saya. Karena tidak pernah marah itulah, makanya ketika suami bertanya atau memberi masukan, bagi saya itu adalah sinyal keberatan darinya atas keputusan belanja saya. Dari situlah, saya secara intuisi mulai intropeksi agar menjadi lebih berhati-hati menggunakan dana APBRT yang lebih bertanggungjawab. Bertanggungjawab?
Ya…. Saya memang kadang-kadang kurang bertanggungjawab. Suami beberapa kali komplain karena dana APBRT digunakan oleh saya untuk hal-hal yang bersifat charity. Sebab, dana APBRT yang saya terima itu sesungguhnya sudah bersih karena sebelumnya telah dibayarkan untuk zakat dan infak. Dan setiap bulan, masing-masing diantara kami selalu menyisihkan dana charity di luar zakat dan infak rutin. Disamping dana APBRT yang terbatas, dana alokasi kebutuhan RT kan bisa tereduksi karena pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada alokasinya itu. Sementara, saya biasanya enggan mengambil dana 50% yang sudah teralokasi di tabungan. Jadi, ujung-ujungnya biasanya minta tambahan dana lagi ke suami. Hehehehehehe…
Mmm, yang juga kurang bertanggungjawab dari saya adalah suka pinjam uang belanja untuk diputar alias diinvestasikan. Kadang, pas lagi lack liquidity, suka bingung sendiri cari uang cash. Padahal, butuh mendesak. Akhirnya, pinjam uang belanja deh. Dan sering tidak mengembalikan. Hehehehehe. Gara-gara ini pula, suami beberapa kali komplain dan menanyakan berapa tabungan saya dan berapa dana yang saya putar untuk ternak bebek, jualan batik, dan lain-lain. Suami juga beberapa kali menanyakan passive income saya. Waaaaah, untuk yang ini, saya tidak transparan. Bukannya kenapa-kenapa, sebab kalau suami tahu, biasanya akan berujung, “Lho, uangnya Iis kan banyak. Jadi uang belanja dipotong ya….”. Ah, tidaaaaaaaak…. Tidaaaaaaak mauuuu….
Tapi…. Sekarang sudah tidak begitu-begitu banget kok. Mmm, tepatnya, kebiasaan yang kurang baik itu sudah mulai saya eliminir. Untuk hal-hal yang bersifat charity, saya berbesar hati untuk mengambil dari uang tabungan saya agar tidak mengganggu stabilitas APBRT. Untuk yang investasi, saya belajar menahan diri dan tidak memaksakan keinginan jika memang dana tabungan saya tidak mencukupi. Hehehe, begini deh kalau punya hobi nabung n muter-muter duit… *_^
1312122211121099468Untuk bulan Agustus ini, saya menjadi semakin hati-hati mengelola APBRT. Sebab, penggunaan dana akan berada di puncak-puncaknya. Selain memperbanyak infak sedekah, saya (dan para ibu RT lainnya) pasti juga dihadapkan pada pembayaran gaji 'staf-staf' yang maju tanggal. Ya iyalah, mana mungkin kita membiarkan para ‘staf-staf’ ini baru menerima bayaran pascalebaran! Padahal, penerimaan APBRT untuk para ibu RT umumnya baru cair di awal bulan. Sedangkan lebaran akan jatuh di sekitar tanggal 31 Agustus atau 1 September. Jadi, ya gitu deh. Harus kalkulasi seksama dan mestinya sudah jauh-jauh hari mempersiapkan kondisi tersebut. Alhamdulillah, kebiasaan menyisihkan uang APBRT setiap bulan untuk kas infaq RT sangat membantu sekali mengatasi hal-hal demikian.

Dr. Khairunnisa Musari, ST., M.MT.
Pemerhati SIT Lumajang

Jumat, 02 Oktober 2015

KAPAN menurunkan jari telunjuk yang digunakan untuk berisyarat saat tasyahud?

KAPAN menurunkan jari telunjuk yang digunakan untuk berisyarat saat tasyahud? Dalam kitab sunan disebutkan riwayat dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا جَلَسَ فِى الصَّلاَةِ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ وَرَفَعَ إِصْبَعَهُ الَّتِى تَلِى الإِبْهَامَ الْيُمْنَى يَدْعُو بِهَا وَيَدُهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ بَاسِطَهَا عَلَيْهِ
“Ketika duduk dalam shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan kanannya di paha kanannya, lalu beliau mengangkat jari di samping jari jempol (yaitu jari telunjuk tangan kanan) dan beliau berdoa dengannya. Sedangkan tangan kiri dibentangkan di paha kirinya.” (HR. Tirmidzi no. 294).
Imam Syafi’i menegaskan bahwa berisyarat dengan jari telunjuk dihukumi sunnah sebagaimana didukung dari berbagai hadits. (Lihat Al Majmu’, 3: 301).

Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (5: 73-74), “Berisyarat dengan jari telunjuk dimulai dari ucapan “illallah” dari ucapan syahadat. Berisyarat dilakukan dengan jari tangan kanan, bukan yang lainnya. Jika jari tersebut terpotong atau sakit, maka tidak digunakan jari lain untuk berisyarat, tidak dengan jari tangan kanan yang lain, tidak pula dengan jari tangan kiri. Disunnahkan agar pandangan tidak lewat dari isyarat jari tadi karena ada hadits shahih yang disebutkan dalam Sunan Abi Daud yang menerangkan hal tersebut. Isyarat tersebut dengan mengarah kiblat. Isyarat tersebut untuk menunjukkan tauhid dan ikhlas.”
Dalam Al Majmu’ (3: 301), Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dari semua ucapan dan sisi pandang tersebut dapat disimpulkan bahwa disunnahkan mengisyaratkan jari telunjuk tangan kanan, lalu mengangkatnya ketika sampai huruf hamzah dari ucapannya (laa ilaaha illalllahu) …”
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa isyarat jari itu ada ketika penafian dalam kalimat tasyahud, yaitu pada kata “laa”. Ketika sampai pada kalimat penetapan (itsbat) yaitu “Allah”, maka jari tersebut diletakkan kembali.
Ulama Malikiyah berisyarat dari awal hingga akhir tasyahud. Ulama Hambali berisyarat ketika menyebut nama jalalah “Allah”. (Lihat Shifat Shalat Nabi karya Syaikh Abdul ‘Aziz Ath Thorifi, hal. 141).
Pada hadits Ibnu ‘Umar di atas pada lafazh hadits “lalu beliau mengangkat jari di samping jari jempol (yaitu jari telunjuk tangan kanan) dan beliau berdoa dengannya”, berdasarkan hal itu mengangkat telunjuk dimulai ketika berdo’a dalam tasyahud. Adapun lafazh doa dimulai dari dua kalimat syahadat. Karena di dalamnya terdapat pengakuan dan penetapan kemahaesaan Allah. Hal itu penyebab suatu doa lebih berpeluang dikabulkan. Selanjutnya mengucapkan inti do’anya “allahumma shalli ‘ala Muhammad …” hingga akhir tasyahuddan sampai akhir salam. Adapun awal tasyahud “attahiyyatulillah …” sampai ucapan “wa ‘ala ‘ibadillahish shalihin” bukanlah termasuk do’a, namun itu adalah bentuk memuji Allah dan do’a keselamatan bagi hamba-Nya.
Adapun masalah kapan selesainya berisyarat dengan telunjuk, para sahabat yang meriwayatkan mengangkat jari telunjuk, tidaklah menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menurunkannya di bagian tertentu sebelum selesainya salam, sehingga disimpulkan bahwa mengangkat jari telunjuk itu terus sampai selesai salam, terlebih lagi akhir tasyahud semuanya adalah do’a .

Imam Ar Ramli Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “ Jari telunjuk diangkat saat ucapan “illallah”, yaitu mulai mengangkatnya ketika pengucapan hamzah untuk mengikuti riwayat Imam Muslim dalam masalah tersebut. Hal itu nampak jelas menunjukkan bahwa jari telunjuk tetap diangkat sampai sesaat sebelum berdiri ke raka’at ketiga, pada tasyahud awal atau sampai salam pada tasyahud akhir. Adapun yang dibahas sekolompok orang zaman sekarang tentang mengembalikannya, maka ini menyelisihi riwayat yang ada.” (Lihat Nihayatul Muhtaj, 1: 522).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa mengangkat jari saat tasyahud dimulai sejak syahadatain (pada kalimat illallah) lalu diturunkan ketika akan bagkit ke raka’at ketiga untuk tasyahud awal atau sampai salam untuk tasyahud akhir. Semoga bermanfaat dan moga bisa diamalkan.